4 Mar 2019

PELANTIKAN & UPGRADING

Manusia bukan hanya saja makhluk individual, melainkan manusia juga makhluk sosial yang memerlukan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam mencapai tujuan manusia itu sendiri mereka perlu sebuah organisasi. Organisasi dari kata organ merupakan sebuah ruang yang hidup dan berjalan. Didalamnya terdiri dari berbagai macam masalah, tentu yang namanya manusia tidak akan lepas dari sebuah "masalah" jika seorang manusia tidak punya "masalah" maka perlu di pertanyakan " dia kah manusia bermasalah? karena ndak punya masalah". Dari permasalahan dan berbagai macam cara menyelesaikannya mereka musyawarahkan dalam sebuah ruang yang disebut organisasi. Seperti halnya Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hadis adalah sebuah organisasi yang berdiri sejak tahun 2015 dipimpin oleh seorang pemuda mas "Khoirul Umam" kemudian dilanjutkan jabatan kepada perempuan sebut saja, mbak " Mariyatul Kiptiyah " lalu di turunkan kepada mas "M Rasyid Ridla" sampai pada akhirnya kepemimpinan itu kini jatuh pada seorang perempuan yang patut dijadikan cermin bagi seluruh mahasiswi di mana pun. Ia bernama " Fitri Mawatul M ". Muncul lah dibenak masing-masing dia lah seorang pemimpin periode ke 4 jurusan Ilmu Hadis tahun 2019 ini. Semoga di permudahkan jalan dan prosesnya, aamiin. Sebagaimana yang telah dilantik dan ditetapkan sebagai ketua HMPS dan jajarannya, organisasi bukanlah ajang bergosip, organisasi bukanlah ajang kesombongan berpendapat, organisasi bukan apa yang bukan-bukan. Organisasi seperti apa yang dikatakan oleh pak Gufron, organisasi mempunyai tiga prinsip. Pertama, mampu bekerja profesional. Kedua, mampu berinteraksi seluas-luasnya. Ketiga, mampu berkomunikasi sebaik. Dalam berorganisasi, seseorang harus terorganisir, seperti orang yang sedang shalat berjamaah (mempunyai tujuan bersama, kesepakatan bersama, ada imam dan makmumnya). Ia juga harus rela berkorban, yang terpenting adalah berkorban atas ego keakuan kita masing-masing. Dimana pun seorang organisator harus rela berkorban, termasuk pikiran, tenaga, materi dan perasaan. Perlunya memupuk jiwa korsa bagi tiap-tiap individu didalam ruang untuk menjaga keseimbangan disini. Untuk mencapai tujuan bersama mewujudkan kemajuan program studi tanpa meninggalkan kewajiban kita sebagai mahasiswa. Marilah kita sama-sama bekerja lebih giat lagi, bergerak lebih cepat dari biasanya dan beristirahat lebih sedikit untuk meningkatkan kualitas intelektual sebagai seorang aktivis kampus. Dengan cara kita menguasai seluruh aspek lingkungan terutama akademik, memperluas wawasan untuk meningkatkan mutu dan kinerja yang lebih baik, semoga Allah bersama proses kita. Amin. Good luck!

13 Des 2018

BIJAKSANA BERPOLITIK DALAM PANDANGAN HADIS


BIJAKSANA BERPOLITIK DALAM PANDANGAN HADIS

( Oleh : Emzet MH )

Abstract
The lack of knowledge of the Muslim community in Indonesia regarding politics, will be the background for the emergence of community disputes. In addition, the people's political participation in the democratic party in the coming year also greatly affects the future of a country in the next five years. The strategy for politics is inseparable from religious issues, both of which are interrelated. Religion is used as a tool to gain power for those who are in conflict and are gathering to hunt for office chairs. Contestation began to bloom throughout the country. Many irresponsible individuals take advantage of campaign moments as an opportunity to bring down opponents and damage the environment. Hoax news spread from the youth. The development of technology and information in Indonesia has influenced the mindset of the community to become consumptive, as well as instant receiving information from sharing without being filtered. These problems need to be responded to by those who have extensive religious knowledge derived from the Koran and Hadith. Not enough to understand the two sources textually. Because we live in a country that tends to be plural. To earth it needs contextual understanding. Are there suggestions from the Prophet to participate in politics? and what is the politics of the Hadith. Its position as the second source of teaching after the Koran. This paper highlights how the system must be applied and which ideal leader is suitable to lead a country consisting of various ethnic groups, races and groups. To create a prosperous country, voters who are politically literate and religious shari'a are needed. Because good voters will also determine good leaders.
(Keyword: Religion, Country, Politics, Leader)

Abstrak
Minimnya pengetahuan masyarakat Muslim di negara Indonesia mengenai politik, akan melatarbelakangi munculnya pertikaian umat.Selain itu partisipasi politik masyarakat terhadap pesta demokrasi di tahun yang akan datang, juga sangat mempengaruhi masa depan sebuah negara lima tahun ke depan. Adapun strategi berpolitik tidak lepas dari persoalan agama, keduanya saling berkaitan. Agama dijadikan sebagai alat untuk meraih kekuasaan bagi mereka yang berkontesatasi dan berkerumun untuk memburu kursi jabatan. Kontestasi mulai marak terjadi hingga pelosok negeri. Banyak oknum tidak bertanggungjawab memanfaatkan momen kampanye sebagai peluang menjatuhkan lawan dan merusak lingkungan. Berita hoaks menjalar dari kalangan pemuda. Perkembangan teknologi dan informasi di Indonesia telah mempengaruhi pola pikir masyarakat menjadi konsumtif, seraba instan menerima informasi asal sharing tanpa disaring. Problematika ini perlu direspon dari kalangan mereka yang pengetahuan agamanya luas bersumber dari Al-Quran dan Hadis. Tidak cukup memahami kedua sumber itu secara tekstual. Karena kita hidup di negeri yang cenderung plural. Untuk membumikannya perlu pemahaman secara kontekstual. Apakah ada anjuran Rasulullah untuk berpartisipasi dalam politik? dan Bagaimana politik dalam perpekstif Hadis. Kedudukannya sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Quran. Dari tulisan ini menyoroti bagaimana sistem yang harus diterapkan dan seorang pemimpin ideal manakah yang cocok memimpin negeri yang terdiri dari berbagai macam suku, ras dan golongan. Untuk menciptakan negara yang sejahtera dibutuhkan pemilih yang melek politik maupun syariat agama. Karena Pemilih  yang baik, juga akan menentukan  pemimpin yang baik pula.
(Kata kunci : Agama, Negara, Politik, Pemimpin)





PENDAHULUAN
Manusia secara kodrati menurut Nietzche memiliki kecenderungan untuk berpolitik, kehendak untuk mendominasi dan berkuasa (the will to power). Tujuan hidup, demikian Nietzsche, adalah “kehendak untuk berkuasa”. Dari situ orang akan merasa bahagia. Sebab, bagi Nietzsche “kebahagiaan adalah bertambahnya kekuasaaan”. Tujuan hidup bukanlah kepuasan melainkan menjadi lebih berkuasa. Sehubungan dengan itu, Thomas Hobbes berpendapat bahwa manusia dengan manusia lainnya adalah lawan yang harus dikalahkan. Dalam perkataannya terkenal homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi yang lainnya). Menurut Hobbes, seluruh atribut psikologis manusia rasa, persepsi, memori, imajinasi, pikiran, perkataan, dan emosi adalah efek dari gerakan-gerakan partikel yang sangat kecil, dimana kita tersusun dari materi tubuh lain. Tindakan kita diatur dan dikendalikan oleh rasa “suka” dan “tidak suka”. Rasa-rasa ini menjadi basis penilaian moral, dan masalah dalam tindakan yang memiliki kecenderungan adalah menjaga dan memelihara diri (self-preservation). Tindakan manusia diatur dan dikendalikan oleh emosi kembar yaitu kematian (fear of death) dan keinginan untuk berkuasa (desire for power).[1]     
Sangat tepat apabila kekuasaan diposisikan sebagai sesuatu yang menggiurkan menggoda dan memesona kepada siapa pun. Pada praktek politik keseharian, pemahaman ini sangat dominan ditemukan dalam panggung politik. Khususnya dalam ritual lima tahunan melalui pemilihan presiden, pemilihan legislatif, maupun pemilihan kepala daerah. Dalam pemilu, hasrat setiap kandidat untuk berkuasa sangat dominan dan di atas segalanya. Kekuasaan yang menggiurkan banyak mengundang orang untuk berkompetisi di panggung politik. Dengan melakukan praktik politik yang menyeleweng dari syariat Islam, seperti halnya politik uang, untuk memperoleh suara dari masyarakat pemilih. Menyogok penyelenggara, melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap lawan politik. Mengembangkan kampanye hitam yang berbau SARA dan sebagainya.[2]
Banyak politisi dan pejabat hanya menggunakan Islam sebagai simbol  supaya menarik simpati umat. Sebaliknya kelakuan mereka setelah di panggung politik tidak sesuai dengan syariat Islam, bahkan menghalalkan segala cara untuk meraih kebahagiaan melalui kekuasaan yang diperolehnya. Menelaah kegelisahan masyarakat Muslim zaman modern. Seorang ilmuwan Islam sekaligus pemikir inovatif terkenal di zaman Abbasiyah. Telah menjawab dengan gagasan beliau yakni memasukkan beberapa unsur akhlak, seperti halnya melaksanakan Pemilu berasas “Luber Jurdil” atau langsung, umum, bebas, rahasia dan jujur dan adil sebagaimana tertera dalam UUD 1945 Amandemen 4 pasal 22E ayat 1.
1.      Pemerintahan dalam Agama
Agama tidaklah harus dipahami sebagai kumpulan doktrin. Dilihat dari beberapa pemahaman, Pierre Bourdie menjelaskan agama sebagai gagasan yang memberi kekuatan untuk memobilisasi. Agama memiliki dasar gerakan politik. Sedangkan Haryatmoko, mendefinisikan agama sebagai Satu, kerangka penafsiran religius terhadap hubungan sosial (fungsi ideologis) atau perekat masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan sosial. Dua, legitimasi etis hubungan sosial dengan mengindikasikan adanya peran agama dalam mengidentifikasikan sistem sosial, politik atau ekonomi tertentu. Tiga, sebagai faktor identitas menekankan agama sebagai perekat sosial dan menjadi struktur simbolis dari ingatan kolektif pemeluknya.[3] Ungkapan tradisional yang mengatakan bahwa agama dan dunia (atau negara) adalah dua kembaran, kini berubah menjadi agama (diin) dan kerajaan (mulk) adalah dua kembaran yang tak terpisahkan: agama menjadi akar dan kekuasaan politik pelindungnya. Namun kehidupan dunia juga penting, karena ia merupakan lahan tempat menyemai benih bagi kehidupan yang akan datang. Bila agama ingin berkembang, maka dunia harus diatur selayaknya. Kehidupan agama didasarkan atas keteraturan sosial-politik, pengenalan (makrifat) kepada Tuhan, dan ibadah kepada-Nya.[4]
Natsir mengatakan Al-Quran dan Hadis telah menegaskan perlunya agama turut bercampur dalam pemerintahan. Hal ini sesuai dengan bunyi Hadis riwayat Bukhari :
اِذَا وُسِدَ الْأَمْرُ اِلَى غَيْرِ اَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
Apabila satu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah saat kerobohannya.
Seorang Muslim tidak dibenarkan bersikap masa bodoh terhadap perbuatan yang menyimpang dari ajaran Tuhan. Mereka diwajibkan menegakkan kebenaran (ijtihad), yaitu dengan melakukan koreksi sebagai perwujudan demokrasi dalam Islam. Perbuatan melakukan koreksi ini merupakan tindakan jihad yang paling tinggi nilainya. Natsir memberi alasan pendapatnya dengan mengutip Hadis Rasul.
Apakah yang sebaik-baik djihad?                                           أَيُّ جِهَادٍ اَفْضَلُ ؟  
Dijawab oleh Rasulullah:
كَلِمَةُ حَقٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ . (حديث النسائى)
Mengatakan barang yang hak terhadap sultan yang berdosa (zalim).
Hadis di atas diperkuat lagi dengan Hadis yang lain, yaitu :
اِنَّ النَّاسَ اِذَا رَأَ وُالظَّا لِمَ فَلَمْ يَأْ خُذُوْا عَلَى يَدَيْهِ اَوْ شَكَ اَنْ يَعُمَّهُمُ اللّهُ بِعِقَابٍ عِنْدَهُ. (حديث ابوداود والتر مذي )
Apabila orang melihat seorang melakukan kezaliman, akan tetapi mereka biarkan, tidak mereka betulkan, azabnya kepada semua mereka baik zalim ataupun yang membiarkan berkelakuan kezaliman itu.[5]
Penulis perempuan dan sosiolog Maroko Fatimah Mernissi menginginkan agama yang diajarkan dalam Islam adalah agama yang membebaskan manusia dari segala penderitaan dan ketidakadilan. Harusnya agama memberi ruang kepada manusia untuk berpartisipasi secara aktif dilingkungannya masing-masing tanpa rasa takut atau dimata-matai. Ruang dalam pemeritahan itu disebut oleh sistem demokrasi. Dimana implementasinya disesuaikan dengan bingkai kultur bangsa masing-masing, bisa jadi sistem yang digunakan di Indonesia berbeda dengan yang berlaku di negara-negara lain.[6]
2.      Hubungan Agama, Negara dan Politik
Imamah (kepemimpinan) bertugas pengganti kenabian dalam melindungi agama dan mengatur kemaslahatan hidup. Wajibnya mengangkat imamah (kepemimpinan) adalah berdasarkan akal  atau syariat. Akal hanya menetapkan hendaknya bersikap adil didalam memberikan pelayanan dan menjalin hubungan. Sehingga seseorang dapat mengatur dirinya sendiri menggunakan akalnya bukan dengan akal orang lain. Namun syariat menggariskan supaya menyerahkan segala persoalan kepada yang berwenang di dalam urusan agama. Allah Swt. berfirman “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu....”(QS. An-Nisa’:59). Jadi, Allah Swt. telah mewajibkan kita untuk menaati ulil amri di antara kita adalah imam (khalifah) yang mengatur urusan kita.[7] Seseorang yang mencegah kezaliman dan menghindarkan dari konflik menjadi kriteria seorang pemimpin.
Dalam teori fiqih siyasah klasik sekelompok ulama melakukan pemililihan dan pengangkatan imamah (kepemimpinan) dengan cara : pertama, pemilihan yang dihadiri oleh ahlul ‘aqdi wa hal lima orang. kedua, penunjukan oleh imam (khalifah).[8] Namun melihat kondisi umat pasca khilafah, muncul negara-negara Islam yang dilandasi oleh nasionalisme. Dan beberapa yang menjadikan Islam sebagai agama resmi. Sehingga ini akan membawa kepada fiqih siyasah yang cenderung dinamis. Berkembangnya zaman telah merubah konsep khilafah menjadi negara bangsa, kemudian berganti konsep kewarganegaraan, dan konsep baiat telah diperluas menjadi pemilu.[9]Telah terjadi ketimpangan antara yang klasik dan perkembangan negara modern, karena setiap negara mempunyai sistem yang berbeda-beda hal tersebut disesuaikan dengan warga negaranya. Jadi sistem negara tergantung seorang pemimpin. Jika mengikuti sistem kekhilafahan maka tidaklah cocok dengan zaman, karena rakyat adalah kekuasaan tertinggi dan mempunyai hak untuk memilih.
Dalam kutipan Ira Lapidus “Ada pembedaan yang jelas antara institusi negara dan agama dalam masyarakat Islam. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa tidak ada satu model institusi agama dan negara yang baku dalam masyarakat Islam; yang ada adalah sejumlah model yang saling bersaing. Bahkan, dalam setiap model terdapat ketidakjelasan mengenai bagaimana distribusi otoritas, fungsi, dan hubungan antara institusi-institusi tersebut”. Perbedaan institusi agama dan negara dalam sejarah masyarakat Islam bukan berarti bahwa pengalaman masa lalu masyarakat Islam harus menjadi model saat ini dan pada masa depan. Karena masyarakat Muslim saat ini memiliki konteks yang berbeda dengan masyarakat Muslim sebelumnya.[10]
Seperti halnya kasus masyarakat Muslim di Indonesia, pelacakan sejarah menyebutkan pengaruhnya modernisme yang dibawa oleh ulama-ulama Indonesia yang terdidik di Kairo. Lebih banyak memilih menjadi anggota organisasi Muhammadiyah yang lebih modernis dan progresif. Sementara mereka yang dari Mekkah pada umunya memilih memasuki Nahdhatul ‘Ulama’ yang konservatif dan lebih khas Jawa. Sehingga kaum muslim lebih dekat dengan kaum muslimin Jawa daripada Muhammadiyah.[11]
Marx megartikan Negara bukanlah gagasan. Negara adalah satu kenyataan yang mewujud dalam segala peralatannya. Dia mengatakan, negara adalah “kelas pekerja tidak dapat dengan mudah alih mesin kenegaraan yang sudah jadi itu, dan menggunakannya untuk kepentingan sendiri.”[12] Negara adalah sebuah jaringan yang rumit dari organ-organ, institusi-institusi, dan proses-proses, yang mestinya menerapkan kebijakan-kebijakan yang diambil melalui proses politik dalam setiap masyarakat. Dengan pengertian ini, negara seharusnya unit swa-kelola pemerintahan yang dijalankan secara mantap dan terncana.[13]
Dalam pengertiannya politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Di Indonesia ada sebuat kata pepatah gemah ripah loh jinawi. Orang Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life. Politik mempunyai arti begitu penting karena sejak dahulu kala masyarakat mengatur kehidupan kolektif dengan baik mengingat masyarakat sering menghadapi terbatasnya sumber alam, atau perlu dicari satu cara distribusi sumber daya agar semua warga merasa bahagia dan puas. Politik dalam suatu negara (state) berkaitan dengan masalah kekuasaan (power) pengambilan keputusan (decision making), kebijakan public (poblic policy), dan alokasi atau distribusi (allociation or distribution). Filsuf seperti Plato dan Aristoteles menganggap poltics sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik (polity) yang terbaik. Di dalam polity semacam itu manusia akan hidup bahagia karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi. Namun, sekarang politik telah didefinisikan sebagai peluang untuk mencari kekuasaan, pembuatan keputusan, kebijakan, alokasi nilai, dan sebagainya.[14]
Oleh karena itu, pembedaan antara negara dan politik mengasumsikan interaksi yang ajek di antara organ-organ dan institus-institusi negara. Untuk memastikan bahwa negara bukan hanya sekadar pencerminan penuh dari politik sehari-hari, melainkan harus mampu menengahi dan menjatuhkan keputusan atas pandangan-pandangan dan proposal-proposal kebijakan yang bertentangan, yang menuntut tetap independen dari kekuatan-kekuatan politik yang berbeda dalam masyarakat.[15]
Satu prinsip yang hingga sekarang masih menimbulkan perdebatan dan tarik-menarik dikalangan umat Islam dan politik. Politik dalam konteks formal, atau politik konteks kekuasaan. Sebagian umat Islam menegaskan bahwa Islam mempunyai ikatan yang jelas dengan struktur politik formal. Menurut Bisri Effendy, Din wa daulah adalah ungkapan paling eksplisit dari penyatuan agama dan politik (negara) dalam satu atap. Berdasarkan konsep Islam dan ummat, politik Islam lebih dipahami sebagai politik tinggi (high politics) bukan politik praksis. Artinya, politik yang dimainkan Islam adalah politik moral. Idealnya, lebih ke soal sosial dan kemanusiaan, bukan yang berpihak pada kekuasaan. [16]
Sedangkan keterkaitan agama (Islam) dan politik (siyasah), Arkoun berpendapat relasi Islam dan politik dilakukan melalui dua pendekatan : pertama, pendekatan historis yang konvensional bersifat deskriptif. Kedua, pendekatan pemikiran dan perenungan berbagai permasalahana dan kesulitan yang muncul berkenaan dengan Islam dan politik, diawali sejak pengalaman misi kenabian Muhammad Saw. di Mekkah, maupun pengalaman politis di Madinah. Dalam karyanya Al-Islam al-Akhlaq wa Al-Siyasah Arkoun mengatakan teori Daulah Islamiyah dalam Islam sebenarnya sangat variatif. Secara common sense, umumnya umat berkeyakinan bahwa Muslim berkewajiban mentaati segala perintah Allah tanpa reserve. Sekaligus mentaati hukum yang dibawa Nabi Muhammad Saw. secara normatif-historis.[17]
Dilihat dari Misi Nabi Muhammad Saw. bukanlah meng-Islamkan dunia. Dijelaskan dalam Al-Quran sebagai rahmat untuk semesta alam. Hal ini ditegaskan dalam QS Al Anbiya 21/107 sebagai berikut,
“Dan tiadalah Kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.”
Dan dijelaskan dalam riwayat hadis yang berbunyi :
Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq” (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia)–(HR. Bukhari).
Menebar rahmat dan memperbaiki akhlak itulah misi utama Nabi, bukan memaksa orang lain masuk Islam atau memaksa mengikuti fatwa dan tafsiran kita sendiri, atau bahkan memaksa orang lain mengikuti pilihan politik kita. Pemaksaan terhadap orang lain bukan rahmat dan bukan juga akhlak yang mulia. La ikraha fi al-din (tidak ada paksaan dalam beragama). Tafsir Ibn Katsir menjelaskan: “tidak perlu memaksa mereka. Barangsiapa dibukakan pintu hatinya oleh Allah, maka mereka akan memeluk Islam. Barangsiapa dikunci hati, pendengaran, dan penglihatannya, maka mereka tidak akan mendapat manfaat jikalau dipaksa masuk Islam.” Tafsir Fi Zhalil Qur’an menginformasikan bahwa “manusia telah diberi tanggung jawab untuk memilih jalannya sendiri, dan mereka pulalah yang akan bertanggungjawab atas pilihannya tersebut.” [18]
Bagi Islam di Indonesia diperlukan suatu idealisme yang agak lentur tapi solid untuk berhadapan dengan kenyataan-kenyataan politik yang belum sehat. Untuk itu umat Islam perlu tampil ke panggung politik sebagai manusia yang berkualitas tinggi, baik moral maupun intelektual. Siapa pun dan apa pun kedudukan kita, harusnya selalu menanamkan rasa tanggungjawab besar terhadap generasi yang akan meneruskan perjuangan Islam di Indonesia.[19] Penulis katakan, berpartisipasi dalam pesta demokrasi tahun mendatang dengan mengurangi angka golput dalam pemilu adalah salah satu bentuk idealisme fleksibel. Hal itu juga merupakan kewajiban sebagai warga negara yang baik. Selain itu juga dalam berkontestasi tidak dengan menjatuhkan lawan. Membangun integritas dalam bersaing, meninggalkan hal-hal yang melanggar syariat Islam.  Tidak bersikap apriori terhadap informasi-informasi yang diperoleh  dan beraposteriori atas segala informasi yang diterima. Karena peristiwa yang terjadi pasti ada konsep kausalitasnya.
3.      Pemimpin Perspektif  Hadis
Dalam hadis banyak dijumpai penjelasan mengenai imam yang baik dan imam yang buruk. Dalam hadis kata “imam” lebih banyak digunakan untuk orang yang membawa kebaikan. Dalam pengertian akademis, kata “imam” dibedakan antara imam yang berkedudukan sebagai kepala negara atau pemimpin ummat (al-imamah al-udhum/imamah al-kubra) dan imam yang kedudukannya sebagai imam shalat disebut al-imamah sughra. Kata “imam” banyak digunakan kalangan akademis untuk menyebut pemimpin dalam bidang agama.[20] Dicontohkan oleh Nabi Saw. ketika Nabi memimpin masyarakat sebagai rasul dan pemimpin negara, Nabi melakukan musyawarah dengan para sahabatnya untuk menentukan strategi peperangan yang akan dihadapi. Demikian juga setelah Nabi Saw. wafat, kita diberi contoh tentang pelaksanaan penentuan pengganti Nabi yang dilakukan lewat musyawarah. Sesungguhnya penentuan semacam itu merupakan ajaran demokrasi.[21]
Menurut Natsir, dalam Al-Quran telah di atur kriteria orang yang patut dijadikan pemimpin, yang tersimpul padanya hak dan kewajiban serta dikehendaki Islam. Syarat-syarat ini menyangkut kriteria agamanya, sifat dan tabiatnya, akhlak serta kecakapannya memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya. Jadi bukan ditentukan semata-mata karena asal-usul kebangsaannya, keturunannya, atau intelektualitasnya. Kriteria lain adalah keharusan pemimpin mengadakan musyawarah dengan orang-orang yang patut diajak musyawarah dan dalam hal-hal yang dapat dimusyawarahkan. Disamping itu juga ada penetapan secara garis besar hak dan kewajiban warga negara dan serta hak dan kewajiban pemimpin. Selain itu ada kewajiban anggota untuk mengawasi tindakan dan perilaku seorang pemimpinnya.[22]
Al-Quran dan As-Sunnah memuat semua hukum dan aturan yang diperlukan manusia agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaannya. Pada kitab al-Kafi dan ada bab berjudul “Semua Kebutuhan Manusia Tersedia Dalam Kitab dan As-Sunnah”. Berdasarkan riwayat Imam as., beliau menjelaskan bahwa semua yang diperlukan oleh manusia ada di Al-Quran dan As-Sunnah dan tak ada keraguan atas kelengkapan dan keotentikan kedua kitab ini.[23]
Dalam sebuah hadis disebutkan akan datang kembali sistem pemerintahan khilafah yang sesuai dengan manhaj kenabian. Disebutkan dalam kritikan Nadirsyah Hosen dan sahabatnya, Agus Maftuh bahwa riwayat Thabari soal itu majhul dan riwayat Imam Ahmad bermasalah, khususnya pada perawi yang bernama Habib bin Salim. Imam Bukhari tidak mau meriwayatkan dari Habib bin Salim. Fihi nazhar (ia perlu diteliti), kata Imam Bukhari. Hal ini menunjukkan bahwa Habib bin Salim itu perlu ditinggalkan dan tidak di anggap kredibel. Dalam penilaian hadis berdasarkan ilmu jarh wa ta’dil yang didahulukan adalah jarh ketimbang ta’dilnya. Dari 9 kitab hadis utama (kutubut tis’ah) hanya musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Jadi, kelemahan hadis ini tidak bisa tertolong.[24]
Habib bin Salim adalah budak yang dimerdekakan oleh Gubernur Nu’man, dan diangkat sebagai sekretaris. Anak Nu’man yang bernama Yazid adalah kawan Khalifah Umar bin Abdul Azis. Untuk mendukungnya, Habib bin Salim menulis surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Azis bahwa yang dimaksud sebagai khalifah ‘ala minhajin nubuwwah itu adalah Umar bin Abdul Azis, dan Khalifah merasa gembira mendengar kabar dari dari Habib bin Salim. Jadi, riwayat Habib bin Salim hanyalah merupakan tambahan belaka dan ditujukan untuk Khalifah Umar bin Abdul Azis, bukan untuk akhir zaman, serta dalam sanad dan matannya pun bermasalah. [25]

4.      Pemimpin Ideal
Kepemimpinan merupakan kebutuhan juga sebagai tuntutan dari berbagai kehidupan masyarakat baik lokal, regional, nasional maupun diberbagai belahan dunia. Dalam konsep Islam tiga orang berjalan dalam hal musafir, salah satu dari ketiga perlu diangkat menjadi seorang pemimpin dan kepemimpinan dalam organisasi, masyarakat dan kenegaraan. Memang masyarakat harus menentukan pemimpin untuk mengendalikan roda pemerintahan atau pun organisasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.[26]
Pemimpin merupakan pucuk/puncak tertinggi dalam piramida kenegaraan, yang menjadi sorotan dari berbagai masyarakat. Dalam berlaku, bertindak, dan berbicara menjadi perhatian bagi mereka. Di Indonesia pemimpin dinamakan presiden atau panglima tertinggi negara. Pada masa Orde baru banyak hal-hal menyeleweng dari presiden. Seharusnya kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat namun sebaliknya, sehingga terjadi perselisihan dan krisis moneter. Presiden perlu mendengar segala keluh kesah rakyat, menerima kritik dan masukan dari mereka. Hal itu termasuk dalam bagian terpenting dari kategori pemimpin ideal.
Dapat dikatakan pemimpin ideal termasuk pemimpin yang merakyat yakni pemimpin yang merasakan denyut jantung rakyat dalam kepedihan dan kesusahan. Bukan pemimpin pragmatisme yag jauh dari orientasi kerakyatan dan kepedulian terhadap keadaan nasib rakyat, hanya memikirkan diri sendiri dan golongan. Kemudian pemimpin yang  visioner yang mampu menjawab dan merubah keadaan, mampu menjaga harkat dan martabat bangsa, mampu menggali sumber kekayaan alam yang ada. Mampu menguatkan Sains danTeknologi dan meningkatkan sumber daya manusia-nya, dan yang ideal lainnya itu pemimpin yang mampu mengurangi ketergantungan dengan bangsa asing. Dari pemimpin ideal tersebut mampu membawa negara Indonesia untuk bersaing dan lebih unggul dari negara-negara lain.[27]
Untuk menjadi pemimpin ideal juga harus meliputi kriteria sebagai berikut :
1.      Adil
2.      Memegang hukum Allah Swt.
3.      Toleransi
4.      Berpengetahuan
5.      Sehat jasmani dan rohani
6.      Visioner, seperti yang dijelaskan di atas
7.      Punya keberanian dan kekuatan
8.      Mempunyai kemampuan dan berwibawa[28]
Sedangkan dalam perspektif Islam pemimpin ideal itu pemimpin yang meneladani kepribadian Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul Allah dan pemimpin umat yang patut diteladani. Diantara karakteristik lainnya: pertama, pemimpin yang harus berkata, bersikap, berbuat dan berlaku benar berpihak pada kebenaran dan membela kebenaran. Kedua, amanah atau dapat dipercaya mampu menjaga kepercayaan dan tidak menyahgunakan kepercayaan orang lain, tidak ingkar. Ketiga, tidak menyembunyikan atau pun menutup-nutupi hal yang harusnya disampaian oleh rakyat serta menyampaikan informasi yang dibutuhkan. Keempat, paham dengan ajaran-ajaran yang disampaikan Al-Quran dan Hadis sehingga adil dan bijak dalam menyelasaikan persoalan-persoalan yang ada.[29]
Masalah siapa yang menjadi presiden Indonesia tahun mendatang, tidak perlu menjadi beban pikiran masyarakat. Jika yang terpilih tidak sesuai dengan pilihan kita. Hendaknya tidak mengurangi keimanan kita terhadap Allah Swt. dengan melakukan hal diluar nalar seperti halnya demo menjatuhkan kursi jabatan, kecuali jika ada sebab tertentu dalam kinerjanya sebagai pemimpin tidak kompeten. Mulailah merubah mindset mendirikan negara khilafah di negara yang warganya tidak hanya terdiri dari agama Islam saja. Kuatkan iman masing-masing, sejatinya keimanan lebih berharga dari mempersoalkan siapa yang menjadi presiden.  Siapa pun yang terpilih sebagai rakyat kita dukung dengan sebagaimana mestinya menjadi warga negara yang baik, menaati peraturan, dan selalu menegakkan kebenaran dalam kondisi apa pun serta tidak merasa benar terhadap diri sendiri, kebenaran hanya milik Allah Swt.











DAFTAR PUSTAKA
Al-Mawardi Imam. 2004. Ahkam Sulthaniyah : Sistem Pemerintahan Khilafah. Jakarta. Qisthi Press.
An-Naim Abdullahi Ahmed. 2007. Islam dan Negara Sekuler. Bandung. Mizan Pustaka.
Black Antony. 2006. Pemikiran Politik Islam. Jakarta. Komunitas Bambu.
Budiardjo Miriam. 2007. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Fauzi Ahmad. 2018. “Emotional Intelligence dan Perilaku Kepemimpinan Pendidikan Islam” dalam al-Tanzim : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Vol. 2 No. 2. Jawa Timur.
Haboddin Muhtar. 2017. Memahami Kekuasaan Politik. Malang. UB Press.
Halim Abd. 2013. Relasi Islam Politik dan Kekuasaan. Yogyakarta. LkiS.
Hosen Nadirsyah. 2018. Islam Yes! Khilafah No!. Yogyakarta. SUKA Press.
Kamaruzzaman. 2001. Relasi Islam dan Negara. Magelang. Indonesia Tera.
Khomeini Imam. 2002. Sistem Pemerintahan Islam. Jakarta. Pustaka Zahra.
Kurniawan Nurhuda dan Mustakim Bagus. 2010. Amien Rais : Inilah Jalan Hidup Saya. Yogyakarta. Insan Madani.
Lubis Ridwan. 2011. Sukarno & Modernisme Islam. Jakarta. Komunitas Bambu.
Maarif Ahmad Syafii. 2009. Islam Dalam Bingkai Ke Indonesiaan dan Kemanusiaan. Bandung. Mizan Pustaka.
Maarif Syafii. 1988. Islam dan Politik di Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Parama Abiwara.
Manan Abdul. 2016. Perbandingan Politik Hukum Islam dan Barat. Jakarta. Prenadamedia Group.
Sumarkan. 2012. “Islam dan Politik Kenegaraan Perspektif Muhamad Arkoun  dalam al-Daulah : Jurnal Vol.2 No.2.
Supyan Muhammad Dian. 2013. Kepemimpinan Islam Dalam Tafsir Al-Mishbah Karya M. Quraish Shihabi. Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga : Yogyakarta.
Rasim Ahmad. 2014. “Tipologi dan Karakter Ideal Kepemimpinan Dunia” dalam jurnal Lingkar Widyaswara. Banten.
Rusli. 2004. “Agama dan Politik” dalam Jurnal Studi Agama-agama Vol.III, No. 2.
Semma Mansyur. Negara dan Korupsi. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.





[1] Rusli,”Agama dan Politik”, Jurnal Studi Agama-agama III, No.2 (Juli 2004),h.261-262.
[2] Muhtar Haboddin, Memahami Kekuasaan Politik(Malang: UB Press,2017),h.1.
[3] Rusli, Agama dan Politik ...”,h.264
[4] Antony Black, Pemikiran Politik Islam(Jakarta:PT Serambi Ilmu Semesta,2006),h.197
[5] Ridwan Lubis, Sukarno & Modernisme Islam(Jakarta: Komunitas Bambu,2010),h.260-261
[6] Ahmad Syafii Maarif, Islam Dalam Bingkai KeIndonesiaan dan Kemanusiaan(Bandung:PT Mizan Pustaka,2009),h.154.
[7] Imam Al-Mawardi, Ahkam Sulthaniyah : Sistem Pemerintahan Khilafah(Jakarta: Qisthi Press,2004),h.9-10.
[8] Imam Al-Mawardi, Ahkam Sulthaniyah : Sistem...,h.12.
[9] Nadirsyah Hosen, Islam Yes, Khilafah No!(Yogyakarta: SUKA Press,2018),h.20.
[10] Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekuler (Bandung: PT Mizan Pustaka,2007),h.80
[11] Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara (Magelang:IndonesiaTera,2001),h.18
[12] Mansyur Semma, Negara dan Korupsi(Jakarta:Yayasan Obor Indonesia),h.10
[13] Ibid,h.18
[14]Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum,2007)h.13-14
[15] Abdullahi Ahmed An-Naim, .......h.19
[16] Abd Halim, Relasi Islam, Politik dan Kekuasaan(Yogyakarta:LkiS, 2013)h.20
[17] Sumarkan,”Islam dan Politik Kenegaraan Perspektif Muhammad Arkoun”, Jurnal  Al-Daulah Vol.2., No.2, (Oktober 2012),h.132-133.
[18] Nadirsyah Hosen, Islam Yes, Khilafah...,h.6
[19] Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia(Yogyakarta: PT. Pustaka Parama Abiwara,1988)h.133
[20] Abdul Manan, Perbandingan Politik Hukum  Islam dan Barat(Jakarta:Prenadamedia Group,2016)h.67
[21] Bagus Mustakim dan Nurhuda Kurniawan, Amien Rais Inilah Jalan Hidup Saya(Yogyakarta: Insan Madani,2010)h.131
[22] M.Ridwan Lubis, Sukarno & Modernisme Islam...,h.265
[23] Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam(Jakarta:Pustaka Zahra,2002)h.82
[24] Nadirsyah Hosen, Islam Yes, Khilafah...,h.47
[25] Ibid,h.50
[26] Ahmad Rasim, “Tipologi dan Karakter Ideal Kepemimpinan Dunia”, Jurnal Lingkar Widyaiswara(Banten,2014),h.46
[27] Ibid...,h.49-50
[28] Muhammad Dian Supyan, Skripsi : Kepemimpinan Islam dalam Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab(Yogyakarta,2013),h.114
[29] Ahmad Fauzi, Emotional Intelligence dan Perilaku Kepemimpinan Pendidikan Islam, al-Tanzim Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Vol.2 No.2 (Jawa Timur, 2018),h.12

 
HADITH KNOWLEDGE

Terima kasih telah berkunjung di blog kami, Apabila Anda menginginkan sesuatu untuk dibahas silahkan ketik dikolom komentar. InsyaAllah kami akan merespon secepatnya.