Assalamu'alaikum wr. wb.
Kami akan mengulas sedikit tentang Musthalahul Hadits.
Secara etimologi ilmu ini berarti hal-hal yang terkait dengan
istilah-istilah atau pembahasan hadits. Oleh karena itu, obyek
pembahasan ilmu ini adalah hadits Nabawy ditinjau dari beberapa sisi,
seperti nama Shahih, Hasan, dan Dla’if. Ilmu ini memiliki banyak nama,
diantaranya adalah Ilmu Usul al-Hadits, Ulum al-Hadits, Mustholah
al-Hadits, dan Ilmu Dirayatil Hadits (ilmu kajian hadits). Pemberian
nama Ilmu Dirayat al-Hadits atau Ulum al-Hadits itu merupakan istilah
ulama mutaakh-khirin, yaitu ulama yang hidup setelah masanya Imam
al-Khotib al-Baghdadi, Imam Ibnu al-Akfani, dan ulama setelah keduanya.
Pembahasan ilmu ini diambilkan dari tulisan para ulama tentang sejarahnya para tokoh dan perawi hadits, kritik mereka, kritik hadits dan kandungannya hadits, serta beberapa karangan tentang ilmu hadits.
Secara lebih spesifik, Ilmu mushthalahul hadits atau ilmu hadits itu ada dua macam, yaitu Ilmu hadits riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah. Ilmu hadits riwayah adalah satu disiplin ilmu yang meliputi pembahasan tentang pemindahan (naql) segala hal yang diafiliasikan kepada Rasulullah SAW. baik berupa perbuatan, perkataan, penetapan, dan sifat, atau segala hal yang diafiliasikan kepada para Sahabat atau para Tabi’in. Sedangkan Ilmu Hadits Dirayah adalah disiplin ilmu yang menjelaskan tentang kaidah-kaidah tertentu untuk mengetahui keberadaan sanad atau matan. Materi yang terdapat dalam Ilmu Hadits Dirayah ini meliputi pembahasan yang berkaitan dengan rawi, hadits yang diriwayatkan, sanad, dan matan dipandang dari aspek hadits yang bisa diterima dan yang tidak bisa diterima.
Hubungan Ilmu hadits riwayah dengan Ilmu hadits dirayah tak ubahnya hubungan Ilmu Usul Fikih dengan Ilmu Fikih. Ilmu Hadits Dirayah merupakan asal atau dasar (usul) sebuah riwayat yang mengungkap hadits shahih yang bisa diamalkan, mengetahui keistimewaan hadits shahih dari yang lain, mengetahui aneka macam hadits, dan hadits yang bisa dibuat pijakan dalam menetapkan hukum-hukum syari’at atau tidak, serta bisa membantu seseorang untuk mengetahui hukum sebuah hadits.
Sebagian pembahasan Ilmu hadits riwayah ini pertama kali diperkenalkan oleh imam Syafi’i dalam kitab al-Risalah dan al-Umm. Kemudian sebagian pembahasan ilmu ini dikumpulkan oleh Imam Tirmidzi dalam kitab Khotimah Jamiah. Adapun orang yang pertama kali menyusun satu pembahasan khusus tentang Ilmu Hadits adalah al-Qodhi Abu Muhammad al-Romahurmuzi (w. 360 H.) dalam kitab al-Muhaddits; al-Fashil bain al-Rowi wa al-Sami’.
Menurut sebagian ulama, yang pertama kali mencetuskan sebagian pembahasan ilmu Musthalah al-Hadits adalah imam Ali ibn al-Mudini merespon permintaan Imam Bukhori, Imam Muslim, Tirmidzi, dan beberapa ulama yang hidup di abad ketiga hijriyah. Setelah itu Imam Tirmidzi menyebar-luaskan ilmu ini dan mengumpulkannya dalam kitab al-Jami’.
Pembahasan ilmu ini diambilkan dari tulisan para ulama tentang sejarahnya para tokoh dan perawi hadits, kritik mereka, kritik hadits dan kandungannya hadits, serta beberapa karangan tentang ilmu hadits.
Secara lebih spesifik, Ilmu mushthalahul hadits atau ilmu hadits itu ada dua macam, yaitu Ilmu hadits riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah. Ilmu hadits riwayah adalah satu disiplin ilmu yang meliputi pembahasan tentang pemindahan (naql) segala hal yang diafiliasikan kepada Rasulullah SAW. baik berupa perbuatan, perkataan, penetapan, dan sifat, atau segala hal yang diafiliasikan kepada para Sahabat atau para Tabi’in. Sedangkan Ilmu Hadits Dirayah adalah disiplin ilmu yang menjelaskan tentang kaidah-kaidah tertentu untuk mengetahui keberadaan sanad atau matan. Materi yang terdapat dalam Ilmu Hadits Dirayah ini meliputi pembahasan yang berkaitan dengan rawi, hadits yang diriwayatkan, sanad, dan matan dipandang dari aspek hadits yang bisa diterima dan yang tidak bisa diterima.
Hubungan Ilmu hadits riwayah dengan Ilmu hadits dirayah tak ubahnya hubungan Ilmu Usul Fikih dengan Ilmu Fikih. Ilmu Hadits Dirayah merupakan asal atau dasar (usul) sebuah riwayat yang mengungkap hadits shahih yang bisa diamalkan, mengetahui keistimewaan hadits shahih dari yang lain, mengetahui aneka macam hadits, dan hadits yang bisa dibuat pijakan dalam menetapkan hukum-hukum syari’at atau tidak, serta bisa membantu seseorang untuk mengetahui hukum sebuah hadits.
Sebagian pembahasan Ilmu hadits riwayah ini pertama kali diperkenalkan oleh imam Syafi’i dalam kitab al-Risalah dan al-Umm. Kemudian sebagian pembahasan ilmu ini dikumpulkan oleh Imam Tirmidzi dalam kitab Khotimah Jamiah. Adapun orang yang pertama kali menyusun satu pembahasan khusus tentang Ilmu Hadits adalah al-Qodhi Abu Muhammad al-Romahurmuzi (w. 360 H.) dalam kitab al-Muhaddits; al-Fashil bain al-Rowi wa al-Sami’.
Menurut sebagian ulama, yang pertama kali mencetuskan sebagian pembahasan ilmu Musthalah al-Hadits adalah imam Ali ibn al-Mudini merespon permintaan Imam Bukhori, Imam Muslim, Tirmidzi, dan beberapa ulama yang hidup di abad ketiga hijriyah. Setelah itu Imam Tirmidzi menyebar-luaskan ilmu ini dan mengumpulkannya dalam kitab al-Jami’.
Kegunaan Mempelajari Ilmu Hadits
Keutamaan yang terkandung dalam ilmu hadits ini adalah termasuk paling penting dan mulia dibanding ilmu yang lain. Penyebabnya adalah karena ilmu ini dibutuhkan untuk mengetahui berbagai macam bentuk dan hukum hadits. Dengan ilmu ini pula proses penyampaian hadits Nabawy sesuai ketentuan Nabi SAW. dapat tercapai, dan dengan ilmu ini pula sempurnalah kebahagiaan mendapatkan do’a Rasulullah yang diberikan kepada orang-orang yang menyampaikan (baca: meriwayatkan) hadits beliau. Sebagaimana sabda Nabi, “semoga Allah membahagiakan orang yang telah mendengar sesuatu dari kami (Rasulullah) kemudian disampaikan kepada orang lain, sebagaimana yang ia dengar dariku. Banyak sekali orang yang diberitahu (tentang sebuah hadits [muballagh]), justeru lebih paham dibandingkan orang yang mendengarnya ([sami'ihi] langsung dariku),” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Imam Sufyan Tsauri menyampaikan satu makalah yang diungkapkan oleh Imam ‘Uyainah, bahwa wajah seorang ahli hadits pasti memantulkan cahaya yang disebabkan hadits tersebut.
Dengan mengetahui ilmu hadits ini, seseorang dapat mengetahui hadits yang maqbul (dapat diterima) atau yang mardud (ditolak atau tidak diterima). Mengetahui adanya satu hadits itu bisa diterima berarti mengetahui bahwa hadits itu bisa diamalkan, menjadi dasar pijakan dalam menentukan hukum syariat, untuk menjelaskan ayat-ayat Alqur’an yang global (mujmal), atau digunakan untuk menafsiri hal-hal yang masih samar (mubham).
Begitu juga dengan mengetahui hadits yang mardud, maka dapat diketahui mana hadits yang palsu (maudlu’) atau dla’if yang tidak bisa diamalkan. Dengan demikian orang muslim bisa waspada dan tidak terbujuk dengan menggunakan hadits palsu dan lemah sebagai argument serta tidak mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi mengetahui ilmu ini hanya terfokus kepada orang-orang yang memperhatikan syari’at islami, kewajiban-kewajiban, dan dalil-dalilnya.
Syaikh Mustofa Abu Sulaiman al-Nadwi berkata, “bersungguh-sungguh dalam memperhatikan ilmu Mustolah al-Hadits sangat penting untuk menjaga hadits dari perubahan, pentakwilan, atau pembuatan hadits palsu.” Beliau juga menyinggung bahwa mengetahui Ilmu Hadits dapat menyelamatkan seseorang dari perbuatan bid’ah, fitnah, kesesatan, dan berpaling dari kebenaran.
Bahkan, salah satu pakar sejarah pada dekade ini telah menyusun satu buku tentang dasar-dasar periwayatan sejarah dengan bertendensi penuh terhadap ilmu Mustholah Hadits. Kitab itu adalah kitab Mustholah Sejarah yang dikarang oleh Asad Rustum, pakar sejarah di salah satu universitas di Amerika. Dia mengakui bahwa ilmu Mustholah Hadits merupakan teori ilmiah paling tepat untuk memastikan kesesuaian berita ataupun riwayat.
Selain itu, Ulum al-Hadits memiliki tiga arti lain, yang semuanya mengandung faidah-faedah tertentu. Ketiga arti yang dimaksud adalah:
Keutamaan yang terkandung dalam ilmu hadits ini adalah termasuk paling penting dan mulia dibanding ilmu yang lain. Penyebabnya adalah karena ilmu ini dibutuhkan untuk mengetahui berbagai macam bentuk dan hukum hadits. Dengan ilmu ini pula proses penyampaian hadits Nabawy sesuai ketentuan Nabi SAW. dapat tercapai, dan dengan ilmu ini pula sempurnalah kebahagiaan mendapatkan do’a Rasulullah yang diberikan kepada orang-orang yang menyampaikan (baca: meriwayatkan) hadits beliau. Sebagaimana sabda Nabi, “semoga Allah membahagiakan orang yang telah mendengar sesuatu dari kami (Rasulullah) kemudian disampaikan kepada orang lain, sebagaimana yang ia dengar dariku. Banyak sekali orang yang diberitahu (tentang sebuah hadits [muballagh]), justeru lebih paham dibandingkan orang yang mendengarnya ([sami'ihi] langsung dariku),” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Imam Sufyan Tsauri menyampaikan satu makalah yang diungkapkan oleh Imam ‘Uyainah, bahwa wajah seorang ahli hadits pasti memantulkan cahaya yang disebabkan hadits tersebut.
Dengan mengetahui ilmu hadits ini, seseorang dapat mengetahui hadits yang maqbul (dapat diterima) atau yang mardud (ditolak atau tidak diterima). Mengetahui adanya satu hadits itu bisa diterima berarti mengetahui bahwa hadits itu bisa diamalkan, menjadi dasar pijakan dalam menentukan hukum syariat, untuk menjelaskan ayat-ayat Alqur’an yang global (mujmal), atau digunakan untuk menafsiri hal-hal yang masih samar (mubham).
Begitu juga dengan mengetahui hadits yang mardud, maka dapat diketahui mana hadits yang palsu (maudlu’) atau dla’if yang tidak bisa diamalkan. Dengan demikian orang muslim bisa waspada dan tidak terbujuk dengan menggunakan hadits palsu dan lemah sebagai argument serta tidak mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi mengetahui ilmu ini hanya terfokus kepada orang-orang yang memperhatikan syari’at islami, kewajiban-kewajiban, dan dalil-dalilnya.
Syaikh Mustofa Abu Sulaiman al-Nadwi berkata, “bersungguh-sungguh dalam memperhatikan ilmu Mustolah al-Hadits sangat penting untuk menjaga hadits dari perubahan, pentakwilan, atau pembuatan hadits palsu.” Beliau juga menyinggung bahwa mengetahui Ilmu Hadits dapat menyelamatkan seseorang dari perbuatan bid’ah, fitnah, kesesatan, dan berpaling dari kebenaran.
Bahkan, salah satu pakar sejarah pada dekade ini telah menyusun satu buku tentang dasar-dasar periwayatan sejarah dengan bertendensi penuh terhadap ilmu Mustholah Hadits. Kitab itu adalah kitab Mustholah Sejarah yang dikarang oleh Asad Rustum, pakar sejarah di salah satu universitas di Amerika. Dia mengakui bahwa ilmu Mustholah Hadits merupakan teori ilmiah paling tepat untuk memastikan kesesuaian berita ataupun riwayat.
Selain itu, Ulum al-Hadits memiliki tiga arti lain, yang semuanya mengandung faidah-faedah tertentu. Ketiga arti yang dimaksud adalah:
- Ilmu Hadits bisa diartikan menukil dan meriwayatkan segala hal yang diafiliasikan kepada Rasulullah. Menilik arti ini, ilmu hadits berguna untuk menjaga dan mengetahui Sunnah Nabawiyyah serta menyebarkannya kepada seluruh umat manusia.
- Dari faedah inilah hadits Nabawy akan kekal dan terhindar dari kepunahan. Materi yang dibahas dalam ilmu ini adalah kepribadian Nabi yang mencakup sisi kata-kata, perbuatan, dan ketetapannya.
- Ilmu Hadits bisa juga diartikan sebagai teori atau prinsip yang digunakan untuk mengetahui ittishal al-hadits (sambungnya mata rantai perawi hadits hingga sampai kepada Rasulullah). Ditinjau dari pengertian ini maka ilmu ini berfungsi untuk bisa mengetahui tingkatan-tingkatan hadits, serta bisa membedakan antara hadits shahih dan hasan, dari hadits yang saqim dan dakhil.
- Ilmu Hadits dapat pula diartikan dengan penelurusan makna yang tersirat dari kalimat-kalimat hadits. Dari pengertian ini maka ilmu hadits memiliki fungsi untuk mengetahui hukum-hukum syari'at, penjelasan tentang Alqur’an, dan mengikuti jejak langkah nabi Muhammad SAW. Klimaksnya, seorang mukmin akan selalu menghiasi dirinya dengan budi pekerti yang baik, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang dan dijauhi Nabi. Dengan demikian, maka seorang mukmin akan sukses mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Perkembangan Ilmu Mushthalah al-Hadits
Ilmu Mustolah al-Hadits berkembang bersamaan dengan perkembangan hadits, ketika para perawi menuntut kejelasan dan meneliti secara detail tentang perihal hadits yang diriwayatkan. Perkembangan ini semakin dominan ketika terjadi huru-hara fitnah pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan, dan pecah-belahnya umat Islam menjadi beberapa kelompok dan partai, seperti Syi’ah dan Khawarij.
Begitu juga ketika Muhammad bin Syihab al-Zuhri mulai mengumpulkan hadits dan mencatatnya dalam beberapa lembaran dan buku, serta Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Risalah dan al-Umm.
Ilmu Mustolah al-Hadits berkembang bersamaan dengan perkembangan hadits, ketika para perawi menuntut kejelasan dan meneliti secara detail tentang perihal hadits yang diriwayatkan. Perkembangan ini semakin dominan ketika terjadi huru-hara fitnah pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan, dan pecah-belahnya umat Islam menjadi beberapa kelompok dan partai, seperti Syi’ah dan Khawarij.
Begitu juga ketika Muhammad bin Syihab al-Zuhri mulai mengumpulkan hadits dan mencatatnya dalam beberapa lembaran dan buku, serta Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Risalah dan al-Umm.
Asas dan Pijakan Dasar Ilmu Hadits
Pijakan utama ilmu Mushthalah Hadits adalah;
Pijakan utama ilmu Mushthalah Hadits adalah;
- Al-Isnad. Isnad adalah satu disiplin yang dijadikan pegangan untuk menghukumi shahih, hasan, dla’if, dan maudlu’-nya hadits. Bahkan isnad ini dibutuhkan untuk menerima ilmu-ilmu syariat yang lain seperti halnya ilmu tafsir, fikih, sejarah, gramatika, sastra, dan lainnya. Isnad inilah yang menjadi keistimewaan umat Islam dan memiki kedudukan yang tinggi.
- Al-Tarikh li al-Rijal wa al-Ruwwat. Ilmu yang membahas tentang sejarah para tokoh dan perawi hadits ini ini sangat penting untuk megetahui hadits shahih dan lainnya yang datang dari para tokoh dan perawi hadits. Bahkan Ibnu al-Madini berkata, “memahami kandungan bunyi hadits adalah separuhnya ilmu (nishful ilmi) dan mengetahui para tokoh hadits juga termasuk nishful ilmi.
- Naqdu al-Ruwat. Ilmu ini membahas tentang kritik perawi hadits, satu disiplin ilmu yang sangat sulit yang dimulai pada masa para Sahabat. Ilmu ini berguna untuk mengetahui status seorang pembawa hadits (rawi), apakah dia itu tsiqoh, jujur, orang yang tidak bermasalah, dan lain sebagainya.
- Naqdu al-Matan. yaitu ilmu yang membahas tentang metode kritik isi hadits, dan menampilkan nash riwayat terhadap Alqur’an dan hadits shahih yang mahfudz. Bila sebuah hadits itu menyalahi Sharih-nya atau makna jelas yang terkandung dalam ayat Alqur’an atau hadits shahih, maka isi hadits itu harus dibuang dan ditolak, serta tidak boleh digunakan.
- Al-Jarhu wa al-Ta’dil. Al-Jarhu berarti mengetahui kadar yang dimiliki seorang pembawa hadits, seperti kekuatan hafalan atau sifat adilnya. Sedangkan Ta’dil artinya memberikan satu hukum terhadap seorang rawi, apakah dia itu orang yang kuat hafalannya atau apakah dia itu seorang yang adil.
Istilahul Muhadditsin dalam ilmu Mushthalah al-Hadits, ada beberapa istilah yang digunakan oleh para pakar Ilmu Hadits. Di antaranya adalah;
- Sanad, yaitu mata rantai pembawa hadits yang meriwayatkannya hingga sampai kepada Rasulullah. Menurut sebagian ulama, arti sanad adalah mengabarkan jalannya hadits.
- Isnad, yaitu menyebutkan mata rantai perawi hadits atau mengafilisaikan hadits kepada orang yang pertama kali meriwayatkannya. Dengan meninjau pengertian ini, maka sanad dan isnad tidaklah jauh berbeda, yaitu berpegang-teguhnya rawi mengenai shahih dan dlo’ifnya hadits kepada para perawinya.
- Matan, yaitu isi atau kalimat hadits yang disampaikan Rasulullah, atau juga disebut dengan istilah akhir dari sanad.
- Musnad, yaitu hadits yang sanad-nya tersambung hingga yang paling akhir, yakni Rasulullah. Musnad bisa juga digunakan pada salah satu tingkatan kitab hadits, seperti Musnad Bukhari dan Musnad Muslim. Terkadang ungkapan musnad itu juga diartikan sama dengan isnad.
- Musnid, adalah orang yang meriwayatkan hadits dengan sanad-sanadnya, baik dia itu menguasai ilmu hadits atau cuma sekedar meriwayatkan saja.
- Mukhrij, yaitu ulama yang menyebutkan nama-nama para perawi hadits, seperti Imam Bukhari. Salah satu contohnya adalah dengan kalimat, “hadits ini dikeluarkan atau diriwayatkan oleh si Fulan.”
- Mukhraj. Sebenarnya arti mukhraj adalah tempat. Namun yang dimaksud di sini adalah para perawi hadits. Karena mereka menjadi sumber hadits yang dikeluarkan, mereka disebut dengan mukhraj al-hadits. Seperti halnya bila dikatakan, hadits ini telah diketahui mukhraj-nya, maka maksudnya adalah para perawi hadits.
- Muhaddits, yaitu orang yang mengerti tentang teori periwayatan hadits dan tahu pada nama-nama para rawi, matan, dan kekurangan-kekurangan (‘illat[2]) yang ada pada hadits. Muhaddits ini lebih tinggi tingkatannya daripada Musnid. Syaikh Fathuddin dalam kitab Sayyid al-Nas berkata, “adapun Muhaddits di zaman sekarang adalah orang-orang yang sibuk dengan hadits, baik riwayat atau dirayat (kajian), serta dapat mengklasifikasikan para perawinya, dan mengetahui para rawi dan riwayat di masa itu. Dia juga harus dikenal memiliki kapabilitas tersebut. Bila pengetahuan seseorang itu lebih luas, hingga mengetahui gurunya para rawi dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain, lebih banyak dari yang tidak diketahui, maka dia disebut seorang Hafidz.
- Hafidz. Menurut satu pendapat, Hafidz mempunyai arti yang sama dengan Muhaddits. Namun sebagian ulama memberi difinisi lain untuk Hafidz. Menurut mereka, Hafidz adalah orang yang banyak menghafal hadits dan sangat mengerti macam-macamnya hadits, serta mengetahui tentang ilmu hadits dirayah dan riwayat, atau kekurangan-kekurangan yang ada dalam hadits. Menurut sebagian pendapat, Hafidz adalah orang telah menghafal dan menguasai seratus ribu (100.000) hadits, baik matan ataupun sanad-nya.
- Al-Thalib, yang artinya adalah seorang pemula.
- Al-Hujjah, yaitu orang yang telah mampu menguasai atau menghafal tiga ratus ribu (300.000) hadits.
- Al-Hakim, yaitu orang yang telah menguasai semua riwayat hadits dalam segi matan, isnad, jarh, dan ta’dil.
- Amirul Mu’minin, dalam hadits berarti orang yang paling tinggi derajatnya dibandingkan tingkatan-tingkatan yang telah disebutkan di atas.
Hadits Palsu (Mau’dlu’)
Sebagai sebuah sabda Rasulullah yang dijadikan pijakan dan panutan dalam segala aspek kehidupan, apalagi hadits bisa dijadikan sebagai legitimasi, tidak sedikit individu atau kelompok yang berusaha memalsukan hadits. Dalam memalsukan hadits ini, ancaman yang diberikan oleh Rasulullah tidaklah ringan. Dalam sebuah hadits yang begitu populer Rasulullah pernah bersabda, “man kadzaba ‘alaiya, fal yatabawwa’ maq’adahu min al-nar.” Barang siapa berdusta kepadaku, maka siapkanlah tempat(duduk)nya di Neraka. Ancaman Neraka yang terdapat hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim di atas memang ancaman yang pantas diberikan kepada pemalsu hadits. Sebab pemalsuan hadits itu dapat mengacaukan kehidupan umat Islam. Apalagi hadits merupakan pijakan kedua setelah Alqur’an, bagi umat manusia di muka bumi.
Di akhir masa khilafah Sayyidina Utsman bin Affan dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, perpecahan di dalam tubuh umat Islam menimbulkan dampak yang sangat negatif. Kelompok-kelompok yang ada pada masa itu makin berani berdusta kepada Nabi dengan membuat hadits palsu.
Menurut sebagian ulama, yang pertama kali dan paling berani membuat hadits palsu adalah kelompok Syi’ah di kota Irak. Dari ini dapat diketahui bahwa Irak merupakan negara pertama timbulnya hadits palsu. Bahkan ada ulama yang berkata, “seandainya dalam hadits yang kita (non-Irak) riwayatkan menyatakan ‘satu jengkal’, maka bila telah diriwayatkan oleh orang-orang Irak akan berubah menjadi satu Dziro’.” Hal ini menunjukkan bahwa Irak termasuk negara yang terkenal sering memalsukan hadits.
Imam Malik bin Anas juga mengatakan bahwa Irak adalah Dar al-Dorbi. Maksudnya adalah bahwa di sana seringkali terjadi pemalsuan atau membuat-buat hadits yang kemudian diberikan kepada orang lain, sebagaiman mata uang Dirham yang dikeluarkan untuk berdagang.
Sebagai sebuah sabda Rasulullah yang dijadikan pijakan dan panutan dalam segala aspek kehidupan, apalagi hadits bisa dijadikan sebagai legitimasi, tidak sedikit individu atau kelompok yang berusaha memalsukan hadits. Dalam memalsukan hadits ini, ancaman yang diberikan oleh Rasulullah tidaklah ringan. Dalam sebuah hadits yang begitu populer Rasulullah pernah bersabda, “man kadzaba ‘alaiya, fal yatabawwa’ maq’adahu min al-nar.” Barang siapa berdusta kepadaku, maka siapkanlah tempat(duduk)nya di Neraka. Ancaman Neraka yang terdapat hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim di atas memang ancaman yang pantas diberikan kepada pemalsu hadits. Sebab pemalsuan hadits itu dapat mengacaukan kehidupan umat Islam. Apalagi hadits merupakan pijakan kedua setelah Alqur’an, bagi umat manusia di muka bumi.
Di akhir masa khilafah Sayyidina Utsman bin Affan dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, perpecahan di dalam tubuh umat Islam menimbulkan dampak yang sangat negatif. Kelompok-kelompok yang ada pada masa itu makin berani berdusta kepada Nabi dengan membuat hadits palsu.
Menurut sebagian ulama, yang pertama kali dan paling berani membuat hadits palsu adalah kelompok Syi’ah di kota Irak. Dari ini dapat diketahui bahwa Irak merupakan negara pertama timbulnya hadits palsu. Bahkan ada ulama yang berkata, “seandainya dalam hadits yang kita (non-Irak) riwayatkan menyatakan ‘satu jengkal’, maka bila telah diriwayatkan oleh orang-orang Irak akan berubah menjadi satu Dziro’.” Hal ini menunjukkan bahwa Irak termasuk negara yang terkenal sering memalsukan hadits.
Imam Malik bin Anas juga mengatakan bahwa Irak adalah Dar al-Dorbi. Maksudnya adalah bahwa di sana seringkali terjadi pemalsuan atau membuat-buat hadits yang kemudian diberikan kepada orang lain, sebagaiman mata uang Dirham yang dikeluarkan untuk berdagang.
Faktor Pendorong Terjadinya Pemalsuan hadits
Ada beberapa pendapat terkait awal pembuatan hadits palsu. Sebagian ulama hadits mengatakan bahwa pemalsuan hadits sudah terjadi sejak masa Rasulullah. Pendapat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Bukhari-Muslim di atas. Menurut ulama yang mendukung pendapat ini, di antaranya adalah Ahmad Amin (sejarawan asal Mesir yang menulis buku, Fajr al-Islam, Dluha al-Islam, dan Dhuhr al-Islam) dan Syek Muhammad Abu Zahw (ahli hadits dari universitas Al-Azhar), hadits tersebut diucapkan oleh Rasulullah karena telah terjadi suatu kebohongan dengan mengatas-namakan Nabi. Oleh karena itu, Nabi memberikan peringatan keras.
Menurut sebagian ulama yang lain, pemalsuan hadits terjadi sejah pemerintahan khalifah Utsman bin Affan. Perpecahan di bidang politik di kalangan umat Islam yang memuncak dengan peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan, Khalifah ketiga dari khulafa' al-Rasyidin, dan bentrok senjata antara kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib melawan pendukung Mu'awiyah bin Abu Sufyan, mempunyai pengaruh yang cukup besar ke arah timbulnya usaha-usaha sebagian umat Islam membuat hadits-hadits palsu guna kepentingan politik.
Golongan Syi'ah sebagai pendukung kepemimpinan Ali dan keturunannya yang kemudian tersingkir dari kekuasaan politik waktu itu, telah terlibat dalam penyajian hadits-hadits palsu untuk membela pendirian politiknya. Golongan ini termasuk golongan yang paling pertama dalam usaha membuat hadits-hadits palsu yang kemudian disusul oleh banyak kelompok umat Islam yang tidak sadar akan bahaya usaha-usaha demikian.
Golongan Rafidhah (salah satu sekte Syi'ah) dinilai oleh sejarah sebagai golongan yang paling banyak membuat hadits-hadits palsu. Di antara hadits-hadits palsu yang membahayakan bagi kemurnian ajaran Islam, terutama yang dibuat oleh orang-orang jahat yang sengaja mengotorkan ajaran Islam dan menyesatkan umatnya, seperti orang Yahudi, orang Zindik, dan lain sebagainya. Kemudian yang kedua yang dibuat oleh ummat Islam sendiri yang maksudnya baik seperti untuk mendorong umat Islam beribadah lebih rajin dan lain sebagainya, tetapi lupa akan dasar yang lebih pokok dan lebih prinsipil dalam agama. Dengan demikian motif-motif hadits palsu itu dapat kita simpulkan antara lain sebagai berikut:
A... Khilafat al-Siyasiyah. semua pakar politik sedikit banyak telah tenggelam dalam lingkaran kedustaan terhadap Rasulullah SAW. Kelompok Syi’ah Rafidlah adalah golongn yang paling banyak melakukan pendustaan ini. Imam Malik ketika ditanya tentang golongan Rafidlah menjawab; “Janganlah kamu berbicara dengan mereka, dan jangan pula kamu meriwayatkan hadits dari mereka. Karena mereka adalah para pendusta.”
Syuraij bin Abdillah al-Qadhi yang dikenal pendukung syi’ah tapi tidak berlebihan (tasyayyu’ ma’al i’tidal fih) berkata, “bawalah setiap hadits dari orang yang kamu temui, tapi bukan golongan Rafidlah. Karena mereka telah membuat hadits palsu dan dijadikan sebagai bagian dari agama.” Imam Hammad bin Salmah berkata, “ada seorang guru dari golongan Rafidlah bercerita kepadaku bahwa ketika kami berkumpul dan kami menganggap baik sesuatu, maka sesuatu itu akan kami jadikan hadits.” Imam Syafi’i berkata, “dalam kelompok orang yang mendahulukan hawa nafsunya (ahlil ahwa’) saya tidak pernah melihat segolongan kaum yang berani bersaksi palsu selain golongan Rafidlah.”
B... Zindiqoh, yaitu golongan yang membenci pemerintahan dan daulah Islam. Salah satu contohnya adalah hadits, "Melihat muka yang cantik adalah ibadah"; "Rasulullah ditanya dari apakah Tuhan kita itu? Beliau menjawab, "Tuhan itu dari air yang mengalir, bukan dari tanah dan bukan dari langit. Tuhan menciptakan kuda dan kemudian dijalankannya sampai berkeringat. Maka Allah menciptakan dirinya dari keringat tersebut."
C... Fanatisme Rasial, Kabilah, Bahasa, Negara, dan Imam (pemimpin). "Sesungguhnya apabila Allah marah, maka menurunkan wahyu dalam bahasa Arab, dan apabila tidak marah Dia menurunkannya dalam bahasa Parsi". Kelompok yang fanatik terhadap Imam Abi Hanifah memalsukan sebuah hadits yang berbunyi, “Dalam umatku akan ada seorang laki-laki yang bernama Abu Hanifah al-Nu’man, dia adalah penerang ummatku.” Sebagian orang yang fanatik terhadap mazhab tertentu juga meriwayatkan sebuah 'hadits' palsu yang berbunyi, "di antara umatku akan ada seorang laki-laki bernama Muhammad bin Idris. Dia sangat berbahaya bagi umatku daripada iblis.
D... Popularitas. Para tukang kisah yang sengaja membumbui cerita dengan membuat hadits sesuai selera pendengarnya. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga popularitas dan menarik lebih banyak pendengar. Kedustaan memang sudah menjadi tradisi tukang cerita. Apalagi orang-orang awam akan duduk setia menungui tukang cerita yang menyuguhkan cerita indah, mengagumkan, keluar dari batas-batas jangkauan akal, atau bahkan sangat menyedihkan hingga membuat hati menjadi sedih dan susah.
E... Motivasi dalam masalah Targhib wa Tarhib. Tujuan mereka tidak lain hanya ingin agar semua orang menangis di tempat mereka, dan semua orang kagum terhadap apa yang diucapkannya. Para tukang cerita itu mengarang cerita bohong dan dusta yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW. Menurut Imam Qutaibah, salah satu yang seringkali melakukan pengrusakan hadits adalah tukang nasehat (dakwah). Menurutnya, mereka cenderung mempengaruhi dan merongrong orang awam, dan menghidangkan beberapa hadits munkar.
F... Khilafat al-Fiqhiyyah wa al-Kalamiyyah (perbedaan fikih dan tauhid). Orang-orang bodoh dan orang-orang fasik yang merupakan pengikut mazhab-mazhab fikih atau tauhid yang bermasalah menguatkan mazhabnya dengan menggunakan hadits-hadits palsu. Salah satunya adalah hadits, "barang siapa mengangkat tangannya di waktu shalat, maka shalatnya tidak sah; orang junub[3] wajib berkumur dan menghirup air ketika mandi; Jibril mengimamiku di sisi Ka'bah kemudian mengeraskan bacaan bismillahirrahmanirrahim; orang yang mengatakan Alqur’an termasuk makhluk dihukumi kafir; semua benda yang ada di langit dan semesta alam selain Allah dan Alqur’an adalah makhluk; dan akan ada sekelompok kaumku yang berkata Alqur’an itu makhluk, maka barang siapa mengatakan seperti itu maka dia dihukum dan ketika itu juga istrinya diceraikan."
G... Kurang memahami agama serta senang pada kebaikan. Hal ini merupakan perbuatan orang-orang zuhud[4] (asketisme), ahli ibadah, dan orang-orang shaleh. Mereka semua memalsukan dan membuat banyak hadits yang berisi himbauan dan peringatan (targhib dan tarhib). Mereka menduga bahwa perbuatan itu dapat mendekatkan diri kepada Allah dan berbakti untuk agama. Mereka merasa senang jika manusia itu melakukan ibadah dan ketaatan. Ketika para ulama mengingkari perbuatan mereka seraya memberitahukan hadits, “barang siapa dusta kepadaku, maka siapkanlah tempatnya di neraka,” mereka malah berkata, “nahnu nukaddzibu lahu la alaihi; Kami berdusta untuk Rasulullah, bukan kepadanya[5].” Hal ini merupakan akibat kurangnya pengetahuan mereka tentang agama, dan dikalahkan oleh hawa nafsu dan kelalaian.
H... Kepentingan pribadi untuk mendekati dan menjilat untuk mendapatkan simpati dari para penguasa. Mereka adalah para penjilat, yang suka memuji raja dengan kata-kata pujian yang dibuat, bahkan diperkuat dengan hadits yang dibuat-buat. Tujuannya agar mereka bisa mengambil hati pemimpinnya, dan mendapatkan apa yang diinginkan.
Salah satu contohnya adalah hadits yang dipalsukan oleh Ghiyas bin Ibrahim al-Nakha'i ketika menjenguk khalifah Al-Mahdi[6] yang sedang mengadu merpati. Ghiyas kemudian membaca sebuah hadits masyhur yang berbunyi, “tidak ada perlombaan yang diperbelehkan kecuali anak panah, unta, dan kuda." Dia kemudian menambahkan kalimat ‘Junahin’ atau merpati dalam hadits, dengan tujuan agar disukai oleh Al-Mahdi. Dia pun akhirnya diberi uang sebesar sepuluh ribu dirham. Akan tetapi, setelah dia diangkat menjadi seorang wazir (menteri) kerajaan dia mengatakan bahwa Rasulullah memerintahkan untuk menyembelih merpati (karena biasa digunakan untuk saling diadu).
Tanda-Tanda Hadits PalsuAda beberapa pendapat terkait awal pembuatan hadits palsu. Sebagian ulama hadits mengatakan bahwa pemalsuan hadits sudah terjadi sejak masa Rasulullah. Pendapat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Bukhari-Muslim di atas. Menurut ulama yang mendukung pendapat ini, di antaranya adalah Ahmad Amin (sejarawan asal Mesir yang menulis buku, Fajr al-Islam, Dluha al-Islam, dan Dhuhr al-Islam) dan Syek Muhammad Abu Zahw (ahli hadits dari universitas Al-Azhar), hadits tersebut diucapkan oleh Rasulullah karena telah terjadi suatu kebohongan dengan mengatas-namakan Nabi. Oleh karena itu, Nabi memberikan peringatan keras.
Menurut sebagian ulama yang lain, pemalsuan hadits terjadi sejah pemerintahan khalifah Utsman bin Affan. Perpecahan di bidang politik di kalangan umat Islam yang memuncak dengan peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan, Khalifah ketiga dari khulafa' al-Rasyidin, dan bentrok senjata antara kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib melawan pendukung Mu'awiyah bin Abu Sufyan, mempunyai pengaruh yang cukup besar ke arah timbulnya usaha-usaha sebagian umat Islam membuat hadits-hadits palsu guna kepentingan politik.
Golongan Syi'ah sebagai pendukung kepemimpinan Ali dan keturunannya yang kemudian tersingkir dari kekuasaan politik waktu itu, telah terlibat dalam penyajian hadits-hadits palsu untuk membela pendirian politiknya. Golongan ini termasuk golongan yang paling pertama dalam usaha membuat hadits-hadits palsu yang kemudian disusul oleh banyak kelompok umat Islam yang tidak sadar akan bahaya usaha-usaha demikian.
Golongan Rafidhah (salah satu sekte Syi'ah) dinilai oleh sejarah sebagai golongan yang paling banyak membuat hadits-hadits palsu. Di antara hadits-hadits palsu yang membahayakan bagi kemurnian ajaran Islam, terutama yang dibuat oleh orang-orang jahat yang sengaja mengotorkan ajaran Islam dan menyesatkan umatnya, seperti orang Yahudi, orang Zindik, dan lain sebagainya. Kemudian yang kedua yang dibuat oleh ummat Islam sendiri yang maksudnya baik seperti untuk mendorong umat Islam beribadah lebih rajin dan lain sebagainya, tetapi lupa akan dasar yang lebih pokok dan lebih prinsipil dalam agama. Dengan demikian motif-motif hadits palsu itu dapat kita simpulkan antara lain sebagai berikut:
A... Khilafat al-Siyasiyah. semua pakar politik sedikit banyak telah tenggelam dalam lingkaran kedustaan terhadap Rasulullah SAW. Kelompok Syi’ah Rafidlah adalah golongn yang paling banyak melakukan pendustaan ini. Imam Malik ketika ditanya tentang golongan Rafidlah menjawab; “Janganlah kamu berbicara dengan mereka, dan jangan pula kamu meriwayatkan hadits dari mereka. Karena mereka adalah para pendusta.”
Syuraij bin Abdillah al-Qadhi yang dikenal pendukung syi’ah tapi tidak berlebihan (tasyayyu’ ma’al i’tidal fih) berkata, “bawalah setiap hadits dari orang yang kamu temui, tapi bukan golongan Rafidlah. Karena mereka telah membuat hadits palsu dan dijadikan sebagai bagian dari agama.” Imam Hammad bin Salmah berkata, “ada seorang guru dari golongan Rafidlah bercerita kepadaku bahwa ketika kami berkumpul dan kami menganggap baik sesuatu, maka sesuatu itu akan kami jadikan hadits.” Imam Syafi’i berkata, “dalam kelompok orang yang mendahulukan hawa nafsunya (ahlil ahwa’) saya tidak pernah melihat segolongan kaum yang berani bersaksi palsu selain golongan Rafidlah.”
B... Zindiqoh, yaitu golongan yang membenci pemerintahan dan daulah Islam. Salah satu contohnya adalah hadits, "Melihat muka yang cantik adalah ibadah"; "Rasulullah ditanya dari apakah Tuhan kita itu? Beliau menjawab, "Tuhan itu dari air yang mengalir, bukan dari tanah dan bukan dari langit. Tuhan menciptakan kuda dan kemudian dijalankannya sampai berkeringat. Maka Allah menciptakan dirinya dari keringat tersebut."
C... Fanatisme Rasial, Kabilah, Bahasa, Negara, dan Imam (pemimpin). "Sesungguhnya apabila Allah marah, maka menurunkan wahyu dalam bahasa Arab, dan apabila tidak marah Dia menurunkannya dalam bahasa Parsi". Kelompok yang fanatik terhadap Imam Abi Hanifah memalsukan sebuah hadits yang berbunyi, “Dalam umatku akan ada seorang laki-laki yang bernama Abu Hanifah al-Nu’man, dia adalah penerang ummatku.” Sebagian orang yang fanatik terhadap mazhab tertentu juga meriwayatkan sebuah 'hadits' palsu yang berbunyi, "di antara umatku akan ada seorang laki-laki bernama Muhammad bin Idris. Dia sangat berbahaya bagi umatku daripada iblis.
D... Popularitas. Para tukang kisah yang sengaja membumbui cerita dengan membuat hadits sesuai selera pendengarnya. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga popularitas dan menarik lebih banyak pendengar. Kedustaan memang sudah menjadi tradisi tukang cerita. Apalagi orang-orang awam akan duduk setia menungui tukang cerita yang menyuguhkan cerita indah, mengagumkan, keluar dari batas-batas jangkauan akal, atau bahkan sangat menyedihkan hingga membuat hati menjadi sedih dan susah.
E... Motivasi dalam masalah Targhib wa Tarhib. Tujuan mereka tidak lain hanya ingin agar semua orang menangis di tempat mereka, dan semua orang kagum terhadap apa yang diucapkannya. Para tukang cerita itu mengarang cerita bohong dan dusta yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW. Menurut Imam Qutaibah, salah satu yang seringkali melakukan pengrusakan hadits adalah tukang nasehat (dakwah). Menurutnya, mereka cenderung mempengaruhi dan merongrong orang awam, dan menghidangkan beberapa hadits munkar.
F... Khilafat al-Fiqhiyyah wa al-Kalamiyyah (perbedaan fikih dan tauhid). Orang-orang bodoh dan orang-orang fasik yang merupakan pengikut mazhab-mazhab fikih atau tauhid yang bermasalah menguatkan mazhabnya dengan menggunakan hadits-hadits palsu. Salah satunya adalah hadits, "barang siapa mengangkat tangannya di waktu shalat, maka shalatnya tidak sah; orang junub[3] wajib berkumur dan menghirup air ketika mandi; Jibril mengimamiku di sisi Ka'bah kemudian mengeraskan bacaan bismillahirrahmanirrahim; orang yang mengatakan Alqur’an termasuk makhluk dihukumi kafir; semua benda yang ada di langit dan semesta alam selain Allah dan Alqur’an adalah makhluk; dan akan ada sekelompok kaumku yang berkata Alqur’an itu makhluk, maka barang siapa mengatakan seperti itu maka dia dihukum dan ketika itu juga istrinya diceraikan."
G... Kurang memahami agama serta senang pada kebaikan. Hal ini merupakan perbuatan orang-orang zuhud[4] (asketisme), ahli ibadah, dan orang-orang shaleh. Mereka semua memalsukan dan membuat banyak hadits yang berisi himbauan dan peringatan (targhib dan tarhib). Mereka menduga bahwa perbuatan itu dapat mendekatkan diri kepada Allah dan berbakti untuk agama. Mereka merasa senang jika manusia itu melakukan ibadah dan ketaatan. Ketika para ulama mengingkari perbuatan mereka seraya memberitahukan hadits, “barang siapa dusta kepadaku, maka siapkanlah tempatnya di neraka,” mereka malah berkata, “nahnu nukaddzibu lahu la alaihi; Kami berdusta untuk Rasulullah, bukan kepadanya[5].” Hal ini merupakan akibat kurangnya pengetahuan mereka tentang agama, dan dikalahkan oleh hawa nafsu dan kelalaian.
H... Kepentingan pribadi untuk mendekati dan menjilat untuk mendapatkan simpati dari para penguasa. Mereka adalah para penjilat, yang suka memuji raja dengan kata-kata pujian yang dibuat, bahkan diperkuat dengan hadits yang dibuat-buat. Tujuannya agar mereka bisa mengambil hati pemimpinnya, dan mendapatkan apa yang diinginkan.
Salah satu contohnya adalah hadits yang dipalsukan oleh Ghiyas bin Ibrahim al-Nakha'i ketika menjenguk khalifah Al-Mahdi[6] yang sedang mengadu merpati. Ghiyas kemudian membaca sebuah hadits masyhur yang berbunyi, “tidak ada perlombaan yang diperbelehkan kecuali anak panah, unta, dan kuda." Dia kemudian menambahkan kalimat ‘Junahin’ atau merpati dalam hadits, dengan tujuan agar disukai oleh Al-Mahdi. Dia pun akhirnya diberi uang sebesar sepuluh ribu dirham. Akan tetapi, setelah dia diangkat menjadi seorang wazir (menteri) kerajaan dia mengatakan bahwa Rasulullah memerintahkan untuk menyembelih merpati (karena biasa digunakan untuk saling diadu).
Tanda-tanda hadits palsu bisa terlihat pada sanad ataupun materi (teks) hadits. Tanda kepalsuan hadits yang tampak dalam sanad-nya adalah;
- Pengakuan pembuat hadits. Di dalam catatan sejarah sering terjadi para pembuat hadits palsu berterus-terang atas perbuatan jahatnya, baik karena terpaksa maupun karena sadar dan taubat. Abu Ismah Nuh bin Abi Maryam (bergelar Nuh al-Jami) telah berterus terang mengakui perbuatannya dalam membuat hadits-hadits palsu yang berhubungan dengan keutamaan-keutamaan surat Alqur'an. Ia sandarkan hadits-haditsnya kepada Ibnu 'Abbas. Maisarah bin 'Abdi Rabbih al-Farisi, juga telah berterus terang mengakui perbuatannya membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan Al-qur'an dan keutamaan Ali bin Abi Thalib. Dalam hal ini memang perlu kita catat bahwa tidak semua pengakuan tersebut lantas harus secara otomatis kita percayai. Sebab mungkin saja pengakuannya itu justru dusta dan palsu.
- Adanya indikasinya perawinya telah memalsukan hadits tersebut dengan mengatakan bahwa ia mendengar hadits dari orang yang sebenarnya tidak pernah bertemu dengannya.
- Perawinya sudah terkenal sebagai pembuat hadits-hadits palsu.
- Ada indikasi hadits itu disampaikan oleh si periwayat yang dilatar-belakangi oleh emosi atau kepentingan pribadinya sehingga kandungan maknanya sulit diterima akal sehat. Sebagai contoh hadits-hadits sebagai berikut, "Sesungguhnya perahu Nuh bertawaf tujuh kali mengelilingi ka'bah dan shalat di makam Ibrahim dua raka'at."
- Terdapat kejanggalan atau kekakuan pada redaksi atau susunan kalimat yang digunakan, yang tidak mungkin diucapkan oleh orang yang fasih, apalagi Rasulullah yang terkenal amat fasih.
- Isinya bertentangan dengan ketentuan agama dan akidah Islam. Sebagai contoh, "Aku adalah penghabisan nabi-nabi. Tidak ada nabi sesudahku kecuali apabila dikehendaki Allah", dan "Allah menciptakan malaikat dari rambut, tangan, dan dada."
- Isinya bertentangan dengan ketentuan agama yang sudah jelas. Seperti hadits, "Anak zina tidak masuk surga hingga tujuh turunan"; "Barangsiapa yang memperoleh anak, dan kemudian diberi nama Muhammad, maka dia dan anaknya akan masuk surga."
- Isinya menjanjikan pahala yang luar biasa atau ancaman yang dahsyat sebagai imbalan atau balasan perbuatan yang kecil dan remeh. Misalnya, "Barang siapa shalat dluha beberapa raka'at, maka Allah akan memberinya pahala sebanyak yang telah diberikan kepada tujuh puluh (70) orang nabi."
- Isinya mengandung kultus-kultus individu. Seperti hadits, "Di tengah umatku kelak akan ada orang diberi nama Abu Hanifah al-Nu'man, Ia adalah pelita umatku"; dan "Abbas itu adalah wasiatku dan ahli warisku."
- Isinya bertentangan dengan fakta sejarah. Seperti hadits-hadits yang menerangkan bahwa Nabi pernah diberi semacam buah dari surga pada saat Mikraj. Setelah kembali dari Mikraj kemudian bergaul dengan Khadijah dan lahirlah Fatimah dan seterusnya. Hadits ini bertentangan dengan fakta sejarah sebab Mikraj itu terjadi setelah wafatnya Khadijah dan setelah Fatimah lahir.
- [1] Pada awal mula kemunculannya, ilmu ini disebut Ulum al-Hadits. Baru pada perkembangan selanjutnya disiplin ilmu pengetahuan ini juga dikenal dengan istilah Mushthalah al-Hadits.
- [2] Illat adalah salah satu istilah dalam Ilmu Hadits yang berarti kekurangan atau kecacatan suatu hadits, sehingga menyebabkan hadits yang shahih, tingkatannya menurun menjadi hasan, dla’if, matruk, atau bahkan munkar dan tidak bisa diterima.
- [3] Junub adalah hadats besar yang mewajibkan mandi besar disebabkan keluar sperma, melakukan hubungan intim, menstruasi (haid), nifas, dan melahirkan.
- [4] Orang-orang yang di dalam hatinya tidak terbersit sedikitpun perasaan suka atau senang dengan harta benda duniawi. Walaupun hidupnya bergelimang harta asalkan hatinya tetap terjaga, dia juga dimasukkan kelompok orang-orang zuhud.
- [5] Dalam ilmu gramatika arab (nahwu) huruf lam dan ‘ala mempunyai perbedaan yang cukup signifikan. Jika lam berarti ‘bermanfaat atau untuk kebaikannya’, maka ‘ala bermakna sebaliknya. Dalam konteks hadits ini, mereka mengatakan kalau dirinya berdusta untuk kebaikan Rasulullah (agama), bukan kepada Rasullah atau kejelekan agama Islam.
- [6] Dalam referensi lain disebutkan bahwa khalifah yang dimaksud adalah Harun al-Rasyid. Kalimat yang ditambahkan juga bukan merpati, tapi burung pinguin (lihat; Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, vol. 2 hal. 422, item; Hadits Ma'dlu').
Terimakasih. Wassalamu'alaikum wr. wb.






0 komentar:
Posting Komentar