BIJAKSANA BERPOLITIK DALAM PANDANGAN HADIS
( Oleh : Emzet MH )
Abstract
The lack of
knowledge of the Muslim community in Indonesia regarding politics, will be the
background for the emergence of community disputes. In addition, the people's
political participation in the democratic party in the coming year also greatly
affects the future of a country in the next five years. The strategy for
politics is inseparable from religious issues, both of which are interrelated.
Religion is used as a tool to gain power for those who are in conflict and are
gathering to hunt for office chairs. Contestation began to bloom throughout the
country. Many irresponsible individuals take advantage of campaign moments as
an opportunity to bring down opponents and damage the environment. Hoax news
spread from the youth. The development of technology and information in
Indonesia has influenced the mindset of the community to become consumptive, as
well as instant receiving information from sharing without being filtered.
These problems need to be responded to by those who have extensive religious
knowledge derived from the Koran and Hadith. Not enough to understand the two
sources textually. Because we live in a country that tends to be plural. To
earth it needs contextual understanding. Are there suggestions from the Prophet
to participate in politics? and what is the politics of the Hadith. Its
position as the second source of teaching after the Koran. This paper
highlights how the system must be applied and which ideal leader is suitable to
lead a country consisting of various ethnic groups, races and groups. To create
a prosperous country, voters who are politically literate and religious shari'a
are needed. Because good voters will also determine good leaders.
(Keyword: Religion, Country, Politics, Leader)
Abstrak
Minimnya
pengetahuan masyarakat Muslim di negara Indonesia mengenai politik, akan
melatarbelakangi munculnya pertikaian umat.Selain itu partisipasi politik
masyarakat terhadap pesta demokrasi di tahun yang akan datang, juga sangat
mempengaruhi masa depan sebuah negara lima tahun ke depan. Adapun strategi
berpolitik tidak lepas dari persoalan agama, keduanya saling berkaitan. Agama
dijadikan sebagai alat untuk meraih kekuasaan bagi mereka yang berkontesatasi
dan berkerumun untuk memburu kursi jabatan. Kontestasi mulai marak terjadi
hingga pelosok negeri. Banyak oknum tidak bertanggungjawab memanfaatkan momen
kampanye sebagai peluang menjatuhkan lawan dan merusak lingkungan. Berita hoaks
menjalar dari kalangan pemuda. Perkembangan teknologi dan informasi di
Indonesia telah mempengaruhi pola pikir masyarakat menjadi konsumtif, seraba
instan menerima informasi asal sharing tanpa disaring. Problematika ini perlu
direspon dari kalangan mereka yang pengetahuan agamanya luas bersumber dari
Al-Quran dan Hadis. Tidak cukup memahami kedua sumber itu secara tekstual.
Karena kita hidup di negeri yang cenderung plural. Untuk membumikannya perlu
pemahaman secara kontekstual. Apakah ada anjuran Rasulullah untuk
berpartisipasi dalam politik? dan Bagaimana politik dalam perpekstif Hadis.
Kedudukannya sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Quran. Dari tulisan ini
menyoroti bagaimana sistem yang harus diterapkan dan seorang pemimpin ideal
manakah yang cocok memimpin negeri yang terdiri dari berbagai macam suku, ras
dan golongan. Untuk menciptakan negara yang sejahtera dibutuhkan pemilih yang
melek politik maupun syariat agama. Karena Pemilih yang baik, juga akan menentukan pemimpin yang baik pula.
(Kata kunci : Agama, Negara, Politik,
Pemimpin)
PENDAHULUAN
Manusia secara kodrati menurut Nietzche memiliki kecenderungan untuk
berpolitik, kehendak untuk mendominasi dan berkuasa (the will to power).
Tujuan hidup, demikian Nietzsche, adalah “kehendak untuk berkuasa”. Dari situ
orang akan merasa bahagia. Sebab, bagi Nietzsche “kebahagiaan adalah
bertambahnya kekuasaaan”. Tujuan hidup bukanlah kepuasan melainkan menjadi
lebih berkuasa. Sehubungan dengan itu, Thomas Hobbes berpendapat bahwa manusia
dengan manusia lainnya adalah lawan yang harus dikalahkan. Dalam perkataannya
terkenal homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi yang lainnya).
Menurut Hobbes, seluruh atribut psikologis manusia rasa, persepsi, memori,
imajinasi, pikiran, perkataan, dan emosi adalah efek dari gerakan-gerakan
partikel yang sangat kecil, dimana kita tersusun dari materi tubuh lain.
Tindakan kita diatur dan dikendalikan oleh rasa “suka” dan “tidak suka”. Rasa-rasa
ini menjadi basis penilaian moral, dan masalah dalam tindakan yang memiliki
kecenderungan adalah menjaga dan memelihara diri (self-preservation).
Tindakan manusia diatur dan dikendalikan oleh emosi kembar yaitu kematian (fear
of death) dan keinginan untuk berkuasa (desire for power).[1]
Sangat tepat apabila kekuasaan diposisikan sebagai sesuatu yang menggiurkan
menggoda dan memesona kepada siapa pun. Pada praktek politik keseharian,
pemahaman ini sangat dominan ditemukan dalam panggung politik. Khususnya dalam
ritual lima tahunan melalui pemilihan presiden, pemilihan legislatif, maupun
pemilihan kepala daerah. Dalam pemilu, hasrat setiap kandidat untuk berkuasa
sangat dominan dan di atas segalanya. Kekuasaan yang menggiurkan banyak
mengundang orang untuk berkompetisi di panggung politik. Dengan melakukan
praktik politik yang menyeleweng dari syariat Islam, seperti halnya politik
uang, untuk memperoleh suara dari masyarakat pemilih. Menyogok penyelenggara,
melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap lawan politik. Mengembangkan
kampanye hitam yang berbau SARA dan sebagainya.[2]
Banyak politisi dan pejabat hanya menggunakan Islam sebagai simbol supaya menarik simpati umat. Sebaliknya
kelakuan mereka setelah di panggung politik tidak sesuai dengan syariat Islam,
bahkan menghalalkan segala cara untuk meraih kebahagiaan melalui kekuasaan yang
diperolehnya. Menelaah kegelisahan masyarakat Muslim zaman modern. Seorang
ilmuwan Islam sekaligus pemikir inovatif terkenal di zaman Abbasiyah. Telah
menjawab dengan gagasan beliau yakni memasukkan beberapa unsur akhlak, seperti
halnya melaksanakan Pemilu berasas “Luber Jurdil” atau langsung, umum, bebas,
rahasia dan jujur dan adil sebagaimana tertera dalam UUD 1945 Amandemen 4 pasal
22E ayat 1.
1. Pemerintahan dalam Agama
Agama tidaklah harus dipahami sebagai kumpulan doktrin. Dilihat dari
beberapa pemahaman, Pierre Bourdie menjelaskan agama sebagai gagasan yang
memberi kekuatan untuk memobilisasi. Agama memiliki dasar gerakan politik. Sedangkan
Haryatmoko, mendefinisikan agama sebagai Satu, kerangka penafsiran
religius terhadap hubungan sosial (fungsi ideologis) atau perekat masyarakat
karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan sosial. Dua,
legitimasi etis hubungan sosial dengan mengindikasikan adanya peran agama dalam
mengidentifikasikan sistem sosial, politik atau ekonomi tertentu. Tiga, sebagai
faktor identitas menekankan agama sebagai perekat sosial dan menjadi struktur
simbolis dari ingatan kolektif pemeluknya.[3]
Ungkapan tradisional yang mengatakan bahwa agama dan dunia (atau negara) adalah
dua kembaran, kini berubah menjadi agama (diin) dan kerajaan (mulk)
adalah dua kembaran yang tak terpisahkan: agama menjadi akar dan kekuasaan
politik pelindungnya. Namun kehidupan dunia juga penting, karena ia merupakan
lahan tempat menyemai benih bagi kehidupan yang akan datang. Bila agama ingin
berkembang, maka dunia harus diatur selayaknya. Kehidupan agama didasarkan atas
keteraturan sosial-politik, pengenalan (makrifat) kepada Tuhan, dan ibadah
kepada-Nya.[4]
Natsir mengatakan Al-Quran dan Hadis telah menegaskan perlunya agama turut
bercampur dalam pemerintahan. Hal ini sesuai dengan bunyi Hadis riwayat Bukhari
:
اِذَا وُسِدَ الْأَمْرُ اِلَى غَيْرِ اَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
Apabila satu urusan diserahkan kepada orang
yang bukan ahlinya, tunggulah saat kerobohannya.
Seorang Muslim tidak dibenarkan bersikap masa bodoh terhadap perbuatan yang
menyimpang dari ajaran Tuhan. Mereka diwajibkan menegakkan kebenaran (ijtihad),
yaitu dengan melakukan koreksi sebagai perwujudan demokrasi dalam Islam.
Perbuatan melakukan koreksi ini merupakan tindakan jihad yang paling tinggi
nilainya. Natsir memberi alasan pendapatnya dengan mengutip Hadis Rasul.
Apakah yang sebaik-baik djihad? أَيُّ جِهَادٍ اَفْضَلُ ؟
Dijawab oleh Rasulullah:
كَلِمَةُ حَقٍ
عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ . (حديث النسائى)
Mengatakan barang yang hak terhadap sultan
yang berdosa (zalim).
Hadis di atas diperkuat lagi dengan Hadis yang
lain, yaitu :
اِنَّ النَّاسَ اِذَا رَأَ وُالظَّا لِمَ فَلَمْ يَأْ خُذُوْا عَلَى يَدَيْهِ
اَوْ شَكَ اَنْ يَعُمَّهُمُ اللّهُ بِعِقَابٍ عِنْدَهُ. (حديث ابوداود والتر مذي )
Apabila orang melihat seorang melakukan kezaliman,
akan tetapi mereka biarkan, tidak mereka betulkan, azabnya kepada semua mereka
baik zalim ataupun yang membiarkan berkelakuan kezaliman itu.[5]
Penulis perempuan dan sosiolog Maroko Fatimah Mernissi menginginkan agama
yang diajarkan dalam Islam adalah agama yang membebaskan manusia dari segala
penderitaan dan ketidakadilan. Harusnya agama memberi ruang kepada manusia
untuk berpartisipasi secara aktif dilingkungannya masing-masing tanpa rasa
takut atau dimata-matai. Ruang dalam pemeritahan itu disebut oleh sistem
demokrasi. Dimana implementasinya disesuaikan dengan bingkai kultur bangsa
masing-masing, bisa jadi sistem yang digunakan di Indonesia berbeda dengan yang
berlaku di negara-negara lain.[6]
2. Hubungan Agama, Negara dan Politik
Imamah (kepemimpinan) bertugas pengganti kenabian dalam melindungi agama dan
mengatur kemaslahatan hidup. Wajibnya mengangkat imamah (kepemimpinan)
adalah berdasarkan akal atau syariat.
Akal hanya menetapkan hendaknya bersikap adil didalam memberikan pelayanan dan
menjalin hubungan. Sehingga seseorang dapat mengatur dirinya sendiri
menggunakan akalnya bukan dengan akal orang lain. Namun syariat menggariskan
supaya menyerahkan segala persoalan kepada yang berwenang di dalam urusan
agama. Allah Swt. berfirman “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu....”(QS.
An-Nisa’:59). Jadi, Allah Swt. telah mewajibkan kita untuk menaati ulil amri
di antara kita adalah imam (khalifah) yang mengatur urusan kita.[7]
Seseorang yang mencegah kezaliman dan menghindarkan dari konflik menjadi
kriteria seorang pemimpin.
Dalam teori fiqih siyasah klasik sekelompok ulama melakukan
pemililihan dan pengangkatan imamah (kepemimpinan) dengan cara : pertama,
pemilihan yang dihadiri oleh ahlul ‘aqdi wa hal lima orang. kedua,
penunjukan oleh imam (khalifah).[8] Namun
melihat kondisi umat pasca khilafah, muncul negara-negara Islam yang dilandasi
oleh nasionalisme. Dan beberapa yang menjadikan Islam sebagai agama resmi.
Sehingga ini akan membawa kepada fiqih siyasah yang cenderung dinamis.
Berkembangnya zaman telah merubah konsep khilafah menjadi negara bangsa, kemudian
berganti konsep kewarganegaraan, dan konsep baiat telah diperluas menjadi
pemilu.[9]Telah
terjadi ketimpangan antara yang klasik dan perkembangan negara modern, karena setiap
negara mempunyai sistem yang berbeda-beda hal tersebut disesuaikan dengan warga
negaranya. Jadi sistem negara tergantung seorang pemimpin. Jika mengikuti
sistem kekhilafahan maka tidaklah cocok dengan zaman, karena rakyat adalah
kekuasaan tertinggi dan mempunyai hak untuk memilih.
Dalam kutipan Ira Lapidus “Ada pembedaan yang jelas antara institusi negara
dan agama dalam masyarakat Islam. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa tidak ada
satu model institusi agama dan negara yang baku dalam masyarakat Islam; yang
ada adalah sejumlah model yang saling bersaing. Bahkan, dalam setiap model
terdapat ketidakjelasan mengenai bagaimana distribusi otoritas, fungsi, dan
hubungan antara institusi-institusi tersebut”. Perbedaan institusi agama dan
negara dalam sejarah masyarakat Islam bukan berarti bahwa pengalaman masa lalu
masyarakat Islam harus menjadi model saat ini dan pada masa depan. Karena
masyarakat Muslim saat ini memiliki konteks yang berbeda dengan masyarakat
Muslim sebelumnya.[10]
Seperti halnya kasus masyarakat Muslim di Indonesia, pelacakan sejarah
menyebutkan pengaruhnya modernisme yang dibawa oleh ulama-ulama Indonesia yang
terdidik di Kairo. Lebih banyak memilih menjadi anggota organisasi Muhammadiyah
yang lebih modernis dan progresif. Sementara mereka yang dari Mekkah pada
umunya memilih memasuki Nahdhatul ‘Ulama’ yang konservatif dan lebih khas Jawa.
Sehingga kaum muslim lebih dekat dengan kaum muslimin Jawa daripada
Muhammadiyah.[11]
Marx megartikan Negara bukanlah gagasan. Negara adalah satu kenyataan yang
mewujud dalam segala peralatannya. Dia mengatakan, negara adalah “kelas pekerja
tidak dapat dengan mudah alih mesin kenegaraan yang sudah jadi itu, dan
menggunakannya untuk kepentingan sendiri.”[12] Negara
adalah sebuah jaringan yang rumit dari organ-organ, institusi-institusi, dan
proses-proses, yang mestinya menerapkan kebijakan-kebijakan yang diambil
melalui proses politik dalam setiap masyarakat. Dengan pengertian ini, negara
seharusnya unit swa-kelola pemerintahan yang dijalankan secara mantap dan
terncana.[13]
Dalam pengertiannya politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Di
Indonesia ada sebuat kata pepatah gemah ripah loh jinawi. Orang Yunani
Kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau
the good life. Politik mempunyai arti begitu penting karena sejak dahulu
kala masyarakat mengatur kehidupan kolektif dengan baik mengingat masyarakat
sering menghadapi terbatasnya sumber alam, atau perlu dicari satu cara
distribusi sumber daya agar semua warga merasa bahagia dan puas. Politik dalam
suatu negara (state) berkaitan dengan masalah kekuasaan (power)
pengambilan keputusan (decision making), kebijakan public (poblic policy), dan alokasi atau distribusi (allociation or
distribution). Filsuf seperti Plato dan Aristoteles menganggap poltics sebagai
suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik (polity) yang terbaik. Di
dalam polity semacam itu manusia akan hidup bahagia karena memiliki
peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang
akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi. Namun, sekarang politik telah
didefinisikan sebagai peluang untuk mencari kekuasaan, pembuatan keputusan,
kebijakan, alokasi nilai, dan sebagainya.[14]
Oleh karena itu, pembedaan antara negara dan politik mengasumsikan
interaksi yang ajek di antara organ-organ dan institus-institusi negara. Untuk
memastikan bahwa negara bukan hanya sekadar pencerminan penuh dari politik
sehari-hari, melainkan harus mampu menengahi dan menjatuhkan keputusan atas
pandangan-pandangan dan proposal-proposal kebijakan yang bertentangan, yang
menuntut tetap independen dari kekuatan-kekuatan politik yang berbeda dalam
masyarakat.[15]
Satu prinsip yang hingga sekarang masih menimbulkan perdebatan dan
tarik-menarik dikalangan umat Islam dan politik. Politik dalam konteks formal,
atau politik konteks kekuasaan. Sebagian umat Islam menegaskan bahwa Islam
mempunyai ikatan yang jelas dengan struktur politik formal. Menurut Bisri
Effendy, Din wa daulah adalah ungkapan paling eksplisit dari penyatuan
agama dan politik (negara) dalam satu atap. Berdasarkan konsep Islam dan ummat,
politik Islam lebih dipahami sebagai politik tinggi (high politics)
bukan politik praksis. Artinya, politik yang dimainkan Islam adalah politik
moral. Idealnya, lebih ke soal sosial dan kemanusiaan, bukan yang berpihak pada
kekuasaan. [16]
Sedangkan keterkaitan agama (Islam) dan politik (siyasah), Arkoun
berpendapat relasi Islam dan politik dilakukan melalui dua pendekatan : pertama,
pendekatan historis yang konvensional bersifat deskriptif. Kedua,
pendekatan pemikiran dan perenungan berbagai permasalahana dan kesulitan yang
muncul berkenaan dengan Islam dan politik, diawali sejak pengalaman misi
kenabian Muhammad Saw. di Mekkah, maupun pengalaman politis di Madinah. Dalam
karyanya Al-Islam al-Akhlaq wa Al-Siyasah Arkoun mengatakan teori Daulah
Islamiyah dalam Islam sebenarnya sangat variatif. Secara common sense,
umumnya umat berkeyakinan bahwa Muslim berkewajiban mentaati segala perintah
Allah tanpa reserve. Sekaligus mentaati hukum yang dibawa Nabi Muhammad
Saw. secara normatif-historis.[17]
Dilihat dari Misi Nabi Muhammad Saw. bukanlah meng-Islamkan dunia.
Dijelaskan dalam Al-Quran sebagai rahmat untuk semesta alam. Hal ini ditegaskan
dalam QS Al Anbiya 21/107 sebagai berikut,
“Dan tiadalah Kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi
rahmat bagi semesta alam.”
Dan dijelaskan dalam riwayat hadis yang
berbunyi :
“Innama bu’itstu liutammima makarimal
akhlaq” (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia)–(HR.
Bukhari).
Menebar rahmat dan memperbaiki akhlak itulah
misi utama Nabi, bukan memaksa orang lain masuk Islam atau memaksa mengikuti
fatwa dan tafsiran kita sendiri, atau bahkan memaksa orang lain mengikuti
pilihan politik kita. Pemaksaan terhadap orang lain bukan rahmat dan bukan juga
akhlak yang mulia. La ikraha fi al-din (tidak ada paksaan dalam beragama).
Tafsir Ibn Katsir menjelaskan: “tidak perlu memaksa mereka. Barangsiapa
dibukakan pintu hatinya oleh Allah, maka mereka akan memeluk Islam. Barangsiapa
dikunci hati, pendengaran, dan penglihatannya, maka mereka tidak akan mendapat
manfaat jikalau dipaksa masuk Islam.” Tafsir Fi Zhalil Qur’an menginformasikan
bahwa “manusia telah diberi tanggung jawab untuk memilih jalannya sendiri, dan
mereka pulalah yang akan bertanggungjawab atas pilihannya tersebut.” [18]
Bagi Islam di Indonesia diperlukan suatu idealisme yang agak lentur tapi
solid untuk berhadapan dengan kenyataan-kenyataan politik yang belum sehat.
Untuk itu umat Islam perlu tampil ke panggung politik sebagai manusia yang berkualitas
tinggi, baik moral maupun intelektual. Siapa pun dan apa pun kedudukan kita,
harusnya selalu menanamkan rasa tanggungjawab besar terhadap generasi yang akan
meneruskan perjuangan Islam di Indonesia.[19]
Penulis katakan, berpartisipasi dalam pesta demokrasi tahun mendatang dengan mengurangi
angka golput dalam pemilu adalah salah satu bentuk idealisme fleksibel. Hal itu
juga merupakan kewajiban sebagai warga negara yang baik. Selain itu juga dalam berkontestasi
tidak dengan menjatuhkan lawan. Membangun integritas dalam bersaing,
meninggalkan hal-hal yang melanggar syariat Islam. Tidak bersikap apriori terhadap
informasi-informasi yang diperoleh dan
beraposteriori atas segala informasi yang diterima. Karena peristiwa yang
terjadi pasti ada konsep kausalitasnya.
3. Pemimpin Perspektif Hadis
Dalam hadis banyak dijumpai penjelasan mengenai imam yang baik dan imam
yang buruk. Dalam hadis kata “imam” lebih banyak digunakan untuk orang yang
membawa kebaikan. Dalam pengertian akademis, kata “imam” dibedakan antara imam
yang berkedudukan sebagai kepala negara atau pemimpin ummat (al-imamah
al-udhum/imamah al-kubra) dan imam yang kedudukannya sebagai imam shalat
disebut al-imamah sughra. Kata “imam” banyak digunakan kalangan akademis
untuk menyebut pemimpin dalam bidang agama.[20] Dicontohkan
oleh Nabi Saw. ketika Nabi memimpin masyarakat sebagai rasul dan pemimpin
negara, Nabi melakukan musyawarah dengan para sahabatnya untuk menentukan
strategi peperangan yang akan dihadapi. Demikian juga setelah Nabi Saw. wafat,
kita diberi contoh tentang pelaksanaan penentuan pengganti Nabi yang dilakukan
lewat musyawarah. Sesungguhnya penentuan semacam itu merupakan ajaran
demokrasi.[21]
Menurut Natsir, dalam Al-Quran telah di atur kriteria orang yang patut
dijadikan pemimpin, yang tersimpul padanya hak dan kewajiban serta dikehendaki
Islam. Syarat-syarat ini menyangkut kriteria agamanya, sifat dan tabiatnya,
akhlak serta kecakapannya memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya. Jadi
bukan ditentukan semata-mata karena asal-usul kebangsaannya, keturunannya, atau
intelektualitasnya. Kriteria lain adalah keharusan pemimpin mengadakan
musyawarah dengan orang-orang yang patut diajak musyawarah dan dalam hal-hal
yang dapat dimusyawarahkan. Disamping itu juga ada penetapan secara garis besar
hak dan kewajiban warga negara dan serta hak dan kewajiban pemimpin. Selain itu
ada kewajiban anggota untuk mengawasi tindakan dan perilaku seorang
pemimpinnya.[22]
Al-Quran dan As-Sunnah memuat semua hukum dan aturan yang diperlukan
manusia agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaannya. Pada kitab al-Kafi dan
ada bab berjudul “Semua Kebutuhan Manusia Tersedia Dalam Kitab dan As-Sunnah”.
Berdasarkan riwayat Imam as., beliau menjelaskan bahwa semua yang diperlukan
oleh manusia ada di Al-Quran dan As-Sunnah dan tak ada keraguan atas
kelengkapan dan keotentikan kedua kitab ini.[23]
Dalam sebuah hadis disebutkan akan datang kembali sistem pemerintahan
khilafah yang sesuai dengan manhaj kenabian. Disebutkan dalam kritikan
Nadirsyah Hosen dan sahabatnya, Agus Maftuh bahwa riwayat Thabari soal itu majhul
dan riwayat Imam Ahmad bermasalah, khususnya pada perawi yang bernama Habib
bin Salim. Imam Bukhari tidak mau meriwayatkan dari Habib bin Salim. Fihi
nazhar (ia perlu diteliti), kata Imam Bukhari. Hal ini menunjukkan bahwa
Habib bin Salim itu perlu ditinggalkan dan tidak di anggap kredibel. Dalam
penilaian hadis berdasarkan ilmu jarh wa ta’dil yang didahulukan adalah jarh
ketimbang ta’dilnya. Dari 9 kitab hadis utama (kutubut tis’ah)
hanya musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Jadi,
kelemahan hadis ini tidak bisa tertolong.[24]
Habib bin Salim adalah budak yang dimerdekakan oleh Gubernur Nu’man, dan
diangkat sebagai sekretaris. Anak Nu’man yang bernama Yazid adalah kawan
Khalifah Umar bin Abdul Azis. Untuk mendukungnya, Habib bin Salim menulis surat
kepada Khalifah Umar bin Abdul Azis bahwa yang dimaksud sebagai khalifah
‘ala minhajin nubuwwah itu adalah Umar bin Abdul Azis, dan Khalifah merasa
gembira mendengar kabar dari dari Habib bin Salim. Jadi, riwayat Habib bin
Salim hanyalah merupakan tambahan belaka dan ditujukan untuk Khalifah Umar bin
Abdul Azis, bukan untuk akhir zaman, serta dalam sanad dan matannya pun bermasalah.
[25]
4. Pemimpin Ideal
Kepemimpinan merupakan kebutuhan juga sebagai tuntutan dari berbagai
kehidupan masyarakat baik lokal, regional, nasional maupun diberbagai belahan
dunia. Dalam konsep Islam tiga orang berjalan dalam hal musafir, salah satu
dari ketiga perlu diangkat menjadi seorang pemimpin dan kepemimpinan dalam
organisasi, masyarakat dan kenegaraan. Memang masyarakat harus menentukan
pemimpin untuk mengendalikan roda pemerintahan atau pun organisasi untuk
mencapai tujuan yang dikehendaki.[26]
Pemimpin merupakan pucuk/puncak tertinggi dalam piramida kenegaraan, yang
menjadi sorotan dari berbagai masyarakat. Dalam berlaku, bertindak, dan
berbicara menjadi perhatian bagi mereka. Di Indonesia pemimpin dinamakan
presiden atau panglima tertinggi negara. Pada masa Orde baru banyak hal-hal
menyeleweng dari presiden. Seharusnya kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat
namun sebaliknya, sehingga terjadi perselisihan dan krisis moneter. Presiden
perlu mendengar segala keluh kesah rakyat, menerima kritik dan masukan dari
mereka. Hal itu termasuk dalam bagian terpenting dari kategori pemimpin ideal.
Dapat dikatakan pemimpin ideal termasuk pemimpin yang merakyat yakni
pemimpin yang merasakan denyut jantung rakyat dalam kepedihan dan kesusahan.
Bukan pemimpin pragmatisme yag jauh dari orientasi kerakyatan dan kepedulian
terhadap keadaan nasib rakyat, hanya memikirkan diri sendiri dan golongan.
Kemudian pemimpin yang visioner yang
mampu menjawab dan merubah keadaan, mampu menjaga harkat dan martabat bangsa,
mampu menggali sumber kekayaan alam yang ada. Mampu menguatkan Sains danTeknologi
dan meningkatkan sumber daya manusia-nya, dan yang ideal lainnya itu pemimpin
yang mampu mengurangi ketergantungan dengan bangsa asing. Dari pemimpin ideal
tersebut mampu membawa negara Indonesia untuk bersaing dan lebih unggul dari
negara-negara lain.[27]
Untuk menjadi pemimpin ideal juga harus meliputi kriteria sebagai berikut :
1. Adil
2. Memegang hukum Allah Swt.
3. Toleransi
4. Berpengetahuan
5. Sehat jasmani dan rohani
6. Visioner, seperti yang dijelaskan di atas
7. Punya keberanian dan kekuatan
8. Mempunyai kemampuan dan berwibawa[28]
Sedangkan dalam perspektif Islam pemimpin ideal itu pemimpin yang meneladani
kepribadian Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul Allah dan pemimpin umat yang patut
diteladani. Diantara karakteristik lainnya: pertama, pemimpin yang harus
berkata, bersikap, berbuat dan berlaku benar berpihak pada kebenaran dan
membela kebenaran. Kedua, amanah atau dapat dipercaya mampu menjaga kepercayaan
dan tidak menyahgunakan kepercayaan orang lain, tidak ingkar. Ketiga, tidak
menyembunyikan atau pun menutup-nutupi hal yang harusnya disampaian oleh rakyat
serta menyampaikan informasi yang dibutuhkan. Keempat, paham dengan ajaran-ajaran
yang disampaikan Al-Quran dan Hadis sehingga adil dan bijak dalam menyelasaikan
persoalan-persoalan yang ada.[29]
Masalah siapa yang menjadi presiden Indonesia tahun mendatang, tidak perlu
menjadi beban pikiran masyarakat. Jika yang terpilih tidak sesuai dengan
pilihan kita. Hendaknya tidak mengurangi keimanan kita terhadap Allah Swt.
dengan melakukan hal diluar nalar seperti halnya demo menjatuhkan kursi
jabatan, kecuali jika ada sebab tertentu dalam kinerjanya sebagai pemimpin
tidak kompeten. Mulailah merubah mindset mendirikan negara khilafah di
negara yang warganya tidak hanya terdiri dari agama Islam saja. Kuatkan iman
masing-masing, sejatinya keimanan lebih berharga dari mempersoalkan siapa yang
menjadi presiden. Siapa pun yang
terpilih sebagai rakyat kita dukung dengan sebagaimana mestinya menjadi warga
negara yang baik, menaati peraturan, dan selalu menegakkan kebenaran dalam
kondisi apa pun serta tidak merasa benar terhadap diri sendiri, kebenaran hanya
milik Allah Swt.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mawardi Imam. 2004. Ahkam Sulthaniyah :
Sistem Pemerintahan Khilafah. Jakarta. Qisthi Press.
An-Naim Abdullahi Ahmed. 2007. Islam dan
Negara Sekuler. Bandung. Mizan Pustaka.
Black Antony. 2006. Pemikiran Politik Islam.
Jakarta. Komunitas Bambu.
Budiardjo Miriam. 2007. Dasar-dasar Ilmu
Politik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Fauzi Ahmad. 2018. “Emotional Intelligence
dan Perilaku Kepemimpinan Pendidikan Islam” dalam al-Tanzim : Jurnal
Manajemen Pendidikan Islam Vol. 2 No. 2. Jawa Timur.
Haboddin Muhtar. 2017. Memahami Kekuasaan
Politik. Malang. UB Press.
Halim Abd. 2013. Relasi Islam Politik dan
Kekuasaan. Yogyakarta. LkiS.
Hosen Nadirsyah. 2018. Islam Yes! Khilafah
No!. Yogyakarta. SUKA Press.
Kamaruzzaman. 2001. Relasi Islam dan Negara.
Magelang. Indonesia Tera.
Khomeini Imam. 2002. Sistem Pemerintahan
Islam. Jakarta. Pustaka Zahra.
Kurniawan Nurhuda dan Mustakim Bagus. 2010. Amien
Rais : Inilah Jalan Hidup Saya. Yogyakarta. Insan Madani.
Lubis Ridwan. 2011. Sukarno &
Modernisme Islam. Jakarta. Komunitas Bambu.
Maarif Ahmad Syafii. 2009. Islam Dalam
Bingkai Ke Indonesiaan dan Kemanusiaan. Bandung. Mizan Pustaka.
Maarif Syafii. 1988. Islam dan Politik di
Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Parama Abiwara.
Manan Abdul. 2016. Perbandingan Politik
Hukum Islam dan Barat. Jakarta. Prenadamedia Group.
Sumarkan. 2012. “Islam dan Politik
Kenegaraan Perspektif Muhamad Arkoun”
dalam al-Daulah : Jurnal Vol.2 No.2.
Supyan Muhammad Dian. 2013. Kepemimpinan
Islam Dalam Tafsir Al-Mishbah Karya M. Quraish Shihabi. Skripsi. Tidak
diterbitkan. Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga : Yogyakarta.
Rasim Ahmad. 2014. “Tipologi dan Karakter
Ideal Kepemimpinan Dunia” dalam jurnal Lingkar Widyaswara. Banten.
Rusli. 2004. “Agama dan Politik” dalam
Jurnal Studi Agama-agama Vol.III, No. 2.
Semma Mansyur. Negara dan Korupsi.
Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
[1]
Rusli,”Agama dan Politik”, Jurnal
Studi Agama-agama III, No.2 (Juli 2004),h.261-262.
[2]
Muhtar Haboddin, Memahami
Kekuasaan Politik(Malang: UB Press,2017),h.1.
[4]
Antony Black, Pemikiran Politik Islam(Jakarta:PT
Serambi Ilmu Semesta,2006),h.197
[5]
Ridwan Lubis, Sukarno &
Modernisme Islam(Jakarta: Komunitas Bambu,2010),h.260-261
[6]
Ahmad Syafii Maarif, Islam Dalam
Bingkai KeIndonesiaan dan Kemanusiaan(Bandung:PT Mizan Pustaka,2009),h.154.
[7]
Imam Al-Mawardi, Ahkam Sulthaniyah : Sistem Pemerintahan Khilafah(Jakarta:
Qisthi Press,2004),h.9-10.
[8]
Imam Al-Mawardi, Ahkam
Sulthaniyah : Sistem...,h.12.
[10]
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekuler (Bandung:
PT Mizan Pustaka,2007),h.80
[11]
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan
Negara (Magelang:IndonesiaTera,2001),h.18
[12]
Mansyur Semma, Negara dan Korupsi(Jakarta:Yayasan Obor Indonesia),h.10
[14]Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik(Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Umum,2007)h.13-14
[15]
Abdullahi Ahmed An-Naim, .......h.19
[16]
Abd Halim, Relasi Islam, Politik
dan Kekuasaan(Yogyakarta:LkiS, 2013)h.20
[17]
Sumarkan,”Islam dan Politik Kenegaraan Perspektif Muhammad
Arkoun”, Jurnal Al-Daulah Vol.2., No.2, (Oktober 2012),h.132-133.
[18]
Nadirsyah Hosen, Islam Yes, Khilafah...,h.6
[19]
Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia(Yogyakarta: PT. Pustaka
Parama Abiwara,1988)h.133
[20]
Abdul Manan, Perbandingan Politik
Hukum Islam dan Barat(Jakarta:Prenadamedia
Group,2016)h.67
[21]
Bagus Mustakim dan Nurhuda Kurniawan, Amien Rais
Inilah Jalan Hidup Saya(Yogyakarta: Insan Madani,2010)h.131
[23]
Imam Khomeini, Sistem
Pemerintahan Islam(Jakarta:Pustaka Zahra,2002)h.82
[26]
Ahmad Rasim, “Tipologi dan Karakter Ideal Kepemimpinan Dunia”, Jurnal
Lingkar Widyaiswara(Banten,2014),h.46
[28]
Muhammad Dian Supyan, Skripsi :
Kepemimpinan Islam dalam Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab(Yogyakarta,2013),h.114
[29]
Ahmad Fauzi, Emotional
Intelligence dan Perilaku Kepemimpinan Pendidikan Islam, al-Tanzim Jurnal Manajemen
Pendidikan Islam Vol.2 No.2 (Jawa Timur, 2018),h.12










